Kenapa
dinamakan pulau Sapeken, kerena menurut cerita nenek moyang pualau tersebut
yang mayoritas berasal dari Sulawesi Selatan dengan bahasa keseharianya yaitu
bahasa Bajo. Bahwa dulu nenek moyang mereka terdampar kepulau tersebut dan
tidak dapat keluar dari pualau tersebut selama satu pekan. Nah dari kata satu
pekan itulah nama pulau itu diambil menjadi Sapeken yang artinya satu minggu.
kalau orang madura menamakan Sepekan.
Karena
nenek moyang tersebut dari sulawesi Selatan maka bahasa resmi keseharian yang
digunakan yaitu bahasa Bajo. Sebenarnya plural sekali suku yang menempati
pullau tersebut ada dari Makasar, Jawa, Madura, Sunda bahkan dari aceh pun ada.
Kepadatan penduduk dipicu karena pulau sapeken sendiri berada pada letak yang
stategis dengan dikelilingi pulau-pulau besar seperti pulau Kangean, Pulau
Paliat, Pulau Pagerungan kecil dan Pagerungan Besar, pulau Saur dan pulau
Sakala. Kalau anda tahu pulau Batam nah seperti itulah kedudukan pulau Sapeken.
Walaupun luasnya kira-kira setengah ITS, pulau Sapeken mempunyai jumlah
penduduk yang tinggi yaitu sekitar 12.600 jiwa. Bayangkan bagaimana kepadatan
di pulau tersebut.
Sulit
mengatakan keadaan ekonomi pulau tersebut. Mayoritas penduduk bermata
pencaharian sebagai nelyan dan pedagang. Ditinjau dari segi bentuk rumah
mayoritas berbentuk rumah panggung yang kelihatanya bisa dikatakan rumah yang
sederhana sekali. Mereka membuat rumah panggung karena dulu pada waktu air laut
pasang sampai masuk ke rumah penduduk. Kembali ke masalah ekonomi. Bila
ditinjau dari segi kepemilikan isi perabotan rumah tanggah, mereka termasuk
orang orang yang mampu. mayoritas mereka mempunayai TV 21 inc, kulkas, Hp yang
minimal ada kameranya. Maklum mereka mudah mencari uang tinggal pergi melaut
dapat ikan dijual sudah dapat pendapatan. Kalau uangnya masih banyak ya…pergi
ke kota belanja. Umumnya mereka pergi ke kota Singaraja karena untuk perjalan
hanya dapat ditempuh kira-kira 6 jam.
Geografi
dan Demografi
Pelabuhan Sapeken
Kecamatan
Sepeken mempuanyai luas total wilayah 201,88 Km 2 (9,64 % dari luas Kabupaten
Sumenep). Jumlah Desa di Kecamatan Sepeken sebanyak 9 desa antara lain. Selain
itu terdapat juga beberapa pulau yang masih masuk wilayah administrasi
Kecamatan Sepeken. Jumlah pulau terdiri dari 53 terdiri dari 21 pulau berpenghuni,
32 pulau tidak berpenghuni.
Kecamatan
Sepeken berbatasan dengan laut dan kecamatan lain. Pada sisi sebelah utara
dibatasi oleh Laut Kalimantan, sebelah selatan dibatasi Laut Bali, sebelah
timur dibatasi oleh Laut Sulawesi, sebelah barat dibatasi oleh Laut Jawa.
Jumlah penduduk Kecamatan Sepeken secara keseluruhan berjumlah 37.765 jiwa
(Bappeda Kab. Sumenep, 2003). Komposisi penduduk Kecamatan Sepeken terdiri dari
laki-laki sebanyak 18.677 jiwa (49,46 %) dan perempuan 19.088 jiwa (50,54 %).
Rasio jenis kelamin sebesar 97,85 % dengan kepadatan penduduk sebanyak 187,06
jiwa/Km 2.
Sarana
dan Prasarana
Sarana
dan prasarana yang tersedia di Kecamatan Sepeken meliputi perhubungan,
penerangan listrik, komunikasi, air bersih, perdagangan, pendidikan, kesehatan,
sarana ibadah, kantor pemerintah, dan lembaga keuangan.
Sarana
dan prasarana perhubungan berupa jalan, darmaga, dan sarana angkutan. Panjang
jalan darat secara keseluruhan sepanjang 39,341 Km dengan kondisi jalan rusak
9,53 %. Sarana angkutan darat bermotor terdiri dari truck, pick up, sepeda
motor dan tidak bermotor terdiri dari becak dan sepeda. Sarana lain yang
terdapat di Kecamatan Sapeken adalah darmaga/pelabuhan terdapat di Desa
Sepeken, Pegerungan kecil dan besar, Sabunten, Paliat, Sasili, sepanjang dan
Sakala. Selain itu juga terdapat air port (bandara) yang terdapat di Pulau Saor
Desa Sapeken.
Penerangan
listrik di Kecamatan Sepeken sebagian besar sudah menggunakan PLN. Jumlah RT
yang memakai PLN sebanyak 1.029 RT terdapat di sebagian besar desa dan non PLN
sebanyak 309 RT terdapat di Desa Pagerungan kecil dan besar. Sarana komunikasi
juga tersedia cukup lengkap antara lain kantor pos 1 unit, wartel 18 unit,
telkom 1 untit, telpon rumah tangga 278 RT dan telpon umum sebanyak 18 RT.
Sarana
air bersih di Kecamatan Sepeken sangat mengandalkan air sumur. Seluruh desa
sebanyak 9 RT memanfaatkan air sumur sebagai sumber air bersih. Untuk aktivitas
perdagangan Kecamatan Sepeken dilengkapi dengan pasar desa. Sedangkan untuk
pengembangan sumberdaya manusia, Kecamatan Sepeken dilengkapi dengan sarana
penddikan yang cukup lengkap. Hal itu tercermin dari ketersediaan sarana
pendidikan yang cukup merata pada semua level pendidikan. Jumlah TK sebanyak 19
unit, SD sebanyak 32 unit, MI sebanyak 30 unit, SMP sebanyak 3 unit, MTs
sebanyak 3 unit, dan MA sebanyak 1 unit.
Sarana
kesehatan di Kecamatan Sepeken terdiri dari Puskesmas, Puskesmas pembantu dan
BKIA/Polindes. Puskesmas berjumlah 1 unit terdapat di Desa Sepeken. Sedangkan
puskesmas pembantu berjumah 5 unit menyebar di beberapa desa. Sedangkan
Polindes sebanyak 6 unit terdapat di sebagian besar desa.
Seluruh
masyarakat di Kecamatan Sapeken memeluk agama Islam. Sarana ibadah meliputi
mesjid sebanyak 31 unit, surau/musholla sebanyak 96 unit. Untuk tata administrasi
pemerintahan di kecamatan Sepeken sarana kantor desa baru sebagian kecil ada.
Sedangkan sebagai penggerak ekonomi dan keuangan di Kecamatan Sepeken juga
sudah teredia lembaga keuangan yaitu koperasi simpan pinjam sebanyak 3 unit.
Perekonomian
Sektor
penggerak perekonomian Kecamatan Sepeken meliputi bidang pertanian tanamangan
pangan, kehutanan dan perkebunan, peternakan, perikanan, industri, energi dan
pertambangan serta wisata.
Produk-produk
pertanian tanaman pangan meliputi padi, jagung dan ubi kayu. Produksi pertanian
tanaman pangan masih didominasi oleh jagung, ketela pohon, kacang hijau, kacang
tanah dan padi. Bidang kehutanan dan perkebunan terdiri dari kelapa, mente,
mangga, pinang, pepaya dan pohon jati. Produk kehutanan dan perkebunan didominasi
oleh kelapa. Bidang peternakan terdiri dari sapi, kuda, kambing, ayam dan
itik/bebek. Bidang peternakan didominasi oleh sapi. Sedangkan bidang lainnya
meliputi bidang industri (industri kecil makanan/minuman, Meubel, kimia dan
minyak bumi dan industri kecil tas). Bidang lain yang tidak kalah pentingnya
adalah bidang energi dan pertambangan terdiri dari tambang gas dan minyak
bumi/gas alam. Selain itu bidang yang potensial berkontribusi terhadap
perekonomian adlaah bidang pariwisata yaitu berupa wisata budaya, alam dan
konservasi.
Khusus
untuk bidang perikanan, potensi yang dimiliki Kecamatan Sepeken meliputi
penangkapan ikan di laut, budidaya, perdagangan dan pengolahan. Hasil
penangkapan ikan di laut antara lain ikan karang, ikan hias, layang, kepiting,
dan kerang. Usaha penangkapan ikan didukung oleh armada tangkap berupa perahu
bermotor 2.399 unit yang terdapat di seluruh desa dan tidak bermotor 1.214 unit
.
Selain
perikanan tangkap, bidang perikanan lainnya yang cukup berkembang yaitu
budidaya perikanan dan pengolahan hasil perikanan. Jenis budidaya perikanan
yang terdapat di Kecamatan Sapeken adalah budidaya laut meliputi budidaya
rumput laut (Pulau Sapeken), budidaya ikan karang (P. Sapeken, P. Sibatok, P.
Saular dan P. Sadulang kecil), budidaya layang (P. Sapeken) dan budidaya
mutiara (P. Sepangkur besar dan kecil, P. Sabunten dan P. Paliat). Budidaya
laut lainnya yang banyak terdapat di Kecamatan Sapeken adalah Budidaya penyu,
budidaya kepiting (P. Sepangkur dan P. Sasil), budiadya mangrove (P. Bangkau)
dan Budidaya terumbu karang (P. Saor).
Suku
Bajo Terpadat di Dunia.
Kendati
sempit, pulau ini dihuni oleh sekitar 12.600 jiwa. Dari jumlah itu, penduduk
Suku Bajo berdasarkan Sensus Penduduk yang dilakukan Badan Pusat Statistik
tahun 2000 berjumlah sekitar 5.526 orang. Bisa dibayangkan, inilah Suku Bajo
dengan populasi terpadat di Indonesia dan dunia.
Menurut
Antropolog asal Jepang yang mendalami Suku Bajo, Prof Nagatzu Kazufumi,
populasi Suku Bajo di seluruh dunia tercatat sekitar 1,1 juta orang. Mereka
tersebar di daerah- daerah pantai di Pulau Sulu (Filipina), pantai Sabah
(Malasyia), dan Indonesia.
Di
Indonesia, Suku Bajo tersebar di berbagai pulau-pulau kecil dan pantai seperti
di Provinsi Kepulauan Riau, Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Tengah,
Sulawesi Tenggara, Sulewesi Selatan, Jawa Timur, dan lain-lain. Lalu, dari
manakah Suku Bajo berasal, Indonesia atau Filipina? Kalau pertanyaan tersebut
ditujukan pada masyarakat Bajo, umumnya mereka serempak bakal menjawab tidak
tahu. Maklum, gaya hidup mereka yang selalu berpindah-pindah dari satu pulau ke
pulau lainnya membuat generasi sekarang ini seolah kehilangan nenek moyang
mereka.
Manusia
Laut Menurut Kazumi dalam karya ilmiahnya yang diterbitkan jurnal Hakusan
Review of Anthroplogy edisi ke-13 (Maret 2010), ada dua hipotesa menyangkut
asal mula Suku Bajo. Pertama, diajukan ahli geografi ternama D.E. Sopher yang
telah dipublikasikan dengan judul Th e Sea Nomads atau Manusia Laut yang
Berpindah-pindah (1977).
Menurutnya,
secara periodik Suku Bajo bermigrasi dari Pulau Lingga (Riau) sejak abad ke-14
sampai abad ke-17 menuju pantai barat Kalimantan. Dari sini mereka lalu
menyebar ke Sulu (Filipina) dan pantai-pantai di Pulau Sulawesi. Kalau melihat
hipotesa Sopher tersebut, bisa jadi asal mula Suku Bajo berawal dari Pulau
Lingga, yang sekarang secara administrasi berada di Provinsi Riau Kepulauan.
Lain lagi dengan hipotesa yang diajukan ahli lingusitik AK Pallesen dan ahli
etnografi HA Nimmo.
Dilihat
berdasarkan bahasa yang dipakai kelompok tersebut, Pallesen dan Nimmo
berpendapat, Suku Bajo berasal dari Mindanao, Filipina. Menurutnya, pada abad
ke-10 itulah mereka lalu menyebar ke Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Terlepas dari asal mulanya, keberadaan Suku Bajo di Indonesia tergolong unik.
“Mereka hanya mendiami kawasan pantai yang memiliki potensi ikan yang
berlimpah.
Hasil
riset Nagatsu menunjukkan, dimana ada Suku Bajo tinggal, di situlah dasar
lautnya memiliki kualitas terumbu karang yang masih terjaga dengan baik,” ujar
Prof Dr Aris Poniman, profesor riset yang baru-baru ini mendalami distribusi
spasial Suku Bajo di Indonesia. Begitu juga keberadaan Suku Bajo di Pulau
Sapeken. Riset memang membuktikan, perairan di Sapeken, Kangean, dan sekitarnya
masih memiliki terumbu karang yang bagus.
Kelimpahan
terumbu karang inilah yang menjadi daya tarik bagi beragam jenis ikan untuk
memijah, membesarkan, tempat bermain bagi anak-anak ikan, berlindung, mencari
pakan, dan lain-lain. Singkat kata, terumbu karang yang baik menunjukkan
kelimpahan biota laut yang besar. Begitu juga sebaliknya, terumbu karang yang
hancur hanya menyisakan padang pasir yang sunyi dari kehidupan biota laut.
Itulah
sebabnya, tak ada Suku Bajo yang tinggal di pesisir utara Jawa. Mereka tahu,
selain terumbu karang sudah hancur, perairannya juga kotor akibat parahnya
pencemaran dari hasil aktivitas manusia di daratan Pulau Jawa. Kondisi semacam
ini jelas sangat sulit untuk memburu ikan, udang, lobster, dan lain-lain.
Terdampar
di Sepekan
Lalu
dari manakah Suku Bajo yang sekarang ini menetap di Pulau Sapeken? Berdasarkan
beberapa kajian, menilik bahasa dan logat yang dipakai, mereka berasal dari
Sulawesi Selatan. Konon, menurut cerita dari mulut ke mulut, mereka terdampar
di pulau tersebut dan tidak dapat keluar selama satu pekan (satu minggu).
Dari
sinilah lalu pulau kecil itu dinamakan Pulau Sapeken. Kini, pulau tersebut
didominasi komunitas Suku Bajo. Hampir separo dari jumlah penduduk itu dihuni
oleh Suku Bajo. Sisanya, berasal dari Suku Bugis, Madura, Jawa, Bali, Sunda,
dan Aceh. Seluruh penduduk tersebut memeluk agama Islam. Kendati kegiatan
kebudayaan didominasi oleh Suku Bajo, mereka tetap hidup rukun dan damai.
Ini
dikarenakan mereka tetap menjunjung tinggi budaya dan adat suku lainnya seperti
Madura, Jawa, Bali, dan Bugis. Bagi Suku Bajo, tinggal di Pulau Sapeken
memiliki kenyamanan tersendiri. Selain perairannya masih bersih, lingkungan
ekosistem lautnya juga masih sehat. Letaknya juga terbilang strategis, yakni
dikelilingi pulau-pulau Kangean, Pagerungan Kecil, Pagerungan Besar, Saur,
Sakala, dan lain-lain.
Kondisi
geografis semacam ini cocok bagi Suku Bajo yang memiliki matapencaharian
sebagai nelayan. Apalagi ada pelabuhan yang digunakan untuk melayani
pulau-pulau di sekitarnya. Tak jauh dari situ, ada juga eksplorasi minyak berskala
komersial. Komplit sudah, di dasar laut memiliki keragaman hayati tinggi.
Sementara
itu, di bawah dasar laut terdapat cadangan minyak bumi yang berlimpah ruah.
Meskipun diselimuti potensi sumber daya laut berlimpah, namun kehidupan di
Pulau Sapeken tergolong sederhana. Coba lihat bentuk tempat tinggalnya, berupa
rumah panggung dengan bahan lokal seadanya. Rumah panggung dibuat untuk
menghindari pasang laut agar air tidak menerobos masuk ke rumah. Alat
transportasinya becak, sepeda motor, dan gerobak kecil untuk mengangkut hasil
tangkapan ikan ke pasarpasar tradisional.
Untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari, mereka lebih memilih ke Banyuwangi (Jawa Timur)
dan Singaraja (Bali) daripada Kalianget (Sumenep, Madura). Maklum, waktu tempuh
ke Banyuwangi dan Singaraja jauh lebih cepat. Jika ombak tenang, perjalanan
bisa ditempuh dalam waktu 6 jam. Namun jika sedang berombak tinggi, perjalanan
tersebut perlu waktu 9 jam.
Kemelaratan
Hidup Masyarakat Pulau Pagerungan
Rumah Adat
Pagerungan
adalah pulau kecil pada gugusan kepulauan Sapeken. Pulau ini terletak di
sebelah timur laut Pulau Madura. Dengan perjalanan menggunakan perahu
bermesin diesel, pulau ini dapat ditempuh sekitar 8 jam dari Sumenep. Meskipun
letaknya terpencil, Pulau Pagerungan menawarkan penorama tropis yang eksotik di
tengah-tengah pergulatan warganya didalam menggantungkan hidupnya pada laut.
Meskipun
Pulau Pagerungan ini masuk wilayah kabupaten Sumenep, namun kebudayaan setempat
seperti rumah adat, cenderung berkiblat pada Suku Bajo yang
terdapat di Sulawesi. Bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi sehari-hari pun
mereka menggunakan Bahasa Bajo yang berbeda jauh dengan Bahasa Madura.
Pulau
ini tidak terlalu luas. Membentang sekitar tiga kilometer. Sehingga kalau kita
berjalan mengikuti garis terluar pantai maka waktu yang dapat ditempuh untuk
mengelilingi pulau ini hanya sekitar satu jam perjalanan. Jumlah penduduknya
pun kurang lebih seratus kepala keluarga. Fasilitas umum pulau ini sangat
terbatas, hanya ada sebuah masjid, sebuah Sekolah Dasar Impres, beberapa
kios pedagang dan sebuah klinik kesehatan yang temboknya sudah retak dan
dipenuhi dengan lumut.
Anak-anak
di pulau ini setelah lulus SD, untuk melanjutkan SMP mereka harus sekolah di
pulau seberang yakni Pulau Pagerungan Besar. Setiap pagi mereka berangkat ke
sekolah secara bergerombol dengan menaiki sebuah perahu kecil bermesinkan
diesel. Dan menjelang siang ketika mereka pulang, perahu yang mengangkut
murid-murid SD tersebut tiba kembali disertai tawa riang suara mereka. Sedangkan
kalau melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi, setingkat SMA, maka mereka
harus menyeberang ke Pulau Sapeken yang dapat ditempuh dua jam perjalanan.
Untuk
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari warga pulau ini menggantungkan laut
sebagai mata pencaharianya. Mayoritas warganya adalah Nelayan, sisanya
pedagang dan guru. Sedangkan bercocok tanam hanya sebagai sampingan saja,
ketika tidak melaut. Karena masih menggunakan cara-cara tradisional, maka para
nelayan disini masih tergantung pada musim. Kalau angin sedang kencang dan
ombaknya besar maka nelayan disini tidak melaut. Biasannya pada musim itu
mereka lebih suka untuk memperbaiki jaring yang rusak maupun mengecat perahu
yang mereka galang ditepian pantai. Sambil diiringi sayup-sayup suara radio
mereka membersihkan perahu yang kayunya banyak ditempeli kerak karang laut
maupun lumut. Mereka membersihkannya dengan senang hati mengisi
kekosongan waktu ketika istirahat melaut.
Tidak
seperti nelayan di Jawa yang sudah menggunakan perlengkapan radar pencari ikan
dan perahu besar, nelayan disini masih menggunakan perlengkapan tradisonal.
Mereka mengandalkan pancing dan jaring payang untuk menangkap ikan.
Sehingga hasil tangkapannya pun untung-untungan. Kalau sedang mujur biasannya
mendapat tangkapan banyak. Sebaliknya kalau buntung, seekor ikan pun tidak
berhasil mereka tangkap. Perahu yang mereka gunakan pun masih tergolong
perahu kecil yang hanya mampu memuat sepuluh orang. Dan sebagian lagi
masih mengandalkan layar guna melaut, tanpa dilengkapi mesin. Ketika di tepi
pantai mereka menggunakan dayung, dan ketika angin berhembus cukup baik, layar
baru dikembangkan yang akan membawanya ke tengah laut. Sedangkan perahu Nelayan
di Jawa mayoritas sudah menggunakan mesin lebih dari satu. Seperti model perahu
Pursin yang mampu menampung awak lebih dari dua puluh orang. Bahkan
perahu Pursin nelayan Pekalongan Jawa Tengah sudah dilengkapi
dengan tiga buah mesin standar 200 PS mampu memuat tiga puluh nelayan lebih
dengan muatan 40-an ton.
Ketika
bulan purnama tiba, ssewaktu para nelayan tidak ada melaut, maka warga akan
berkumpul didepan rumah. Mereka bergerombol sambil saling bercerita. Sedangkan
anak-anak kecil bermain-main dihalaman rumah. Ada yang main kejar-kejaran
maupun bermain gelang karet. Sementara itu ombak terus berdebur tiada hentinya,
mengikis pasir yang kelihatan penuh gemerlapan. Di tengah-tengah laut, sinar
rembulan terpantul membiaskan seberkas cahaya. Laut
seolah-olah bermandikan cahaya. Perahu nelayan tertambat rapi, dipinggir
dermaga kayu, terombang-ambing oleh gelombang pasang air laut. Pohon
kelapa sepertinya menari-menari diterpa angin yang tidak terlalu kencang.
Di sebuah rumah tampak suara-suara orang bercengkrama, sesekali terdengar suara
tawa. Itulah salah satu rumah yang menjadi tempat berkumpul warga Pulau
Pagerungan. Mereka menghabiskan malam-malam yang hanya diiringi deburan ombak
pantai yang tak kenal lelah dan suara-suara serangga yang mengerik.
Suasananya jauh dari kebisingan knalpot kendaraan dan lalu lalang hentakan
langkah manusia yang mengadu nasib ditengah-tengah kerasnya kota metropolis.
Harapan
bagi penduduk pulau Pagerungan ini adalah adanya perbaikan sarana dan prasarana
yang memadai, seperti Transportasi maupun fasilitas-fasilitas umum. Baik
fasilitas listrik, sarana pendidikan dan kesehatan maupun jalan. Apalagi
panorama pulau ini masih alami, sehingga potensi untuk dikembangkan
menjadi kawasan pariwisata sangat terbuka lebar. Hamparan pasir putihnya
dengan terumbu karang yang tersebar diperairan adalah pesona yang tak terkira,
keramah tamahan penduduknya menjadi salah satu daya tawar yang cukup
menarik bagi para wisatawan. Belum lagi potensi perikanan yang ada dikawasan
ini yang masih cukup besar, dan belum dikembangkan secara modern. Aset
tersebut selayaknya dijaga kelestariannya. Mengingat banyak terumbu karang yang
berada pulau-pulau disekitar kondisinya sudah sangat memperihatinkan. Pulau itu
sepatutnya mendapat perhatian serius bagi pemerintah daerah setempat sebagai
sebuah sorga yang terlupakan, sorga yang harus diselamatkan dan diberdayakan
sehingga akan menjadi sorga sebenarnya.
Sumeber : http://octadiansyah.blogspot.co.id/2015/02/latar-belakang-pulau-sapeken.html
Tidak ada komentar: