Mengenal Lebih Dekat Pulau Sapeken
Posted by : Unknown / on :Sabtu, 05 Desember 2015
Kenapa
dinamakan pulau Sapeken, kerena menurut cerita nenek moyang pualau tersebut
yang mayoritas berasal dari Sulawesi Selatan dengan bahasa keseharianya yaitu
bahasa Bajo. Bahwa dulu nenek moyang mereka terdampar kepulau tersebut dan
tidak dapat keluar dari pualau tersebut selama satu pekan. Nah dari kata satu
pekan itulah nama pulau itu diambil menjadi Sapeken yang artinya satu minggu.
kalau orang madura menamakan Sepekan.
Karena
nenek moyang tersebut dari sulawesi Selatan maka bahasa resmi keseharian yang
digunakan yaitu bahasa Bajo. Sebenarnya plural sekali suku yang menempati
pullau tersebut ada dari Makasar, Jawa, Madura, Sunda bahkan dari aceh pun ada.
Kepadatan penduduk dipicu karena pulau sapeken sendiri berada pada letak yang
stategis dengan dikelilingi pulau-pulau besar seperti pulau Kangean, Pulau
Paliat, Pulau Pagerungan kecil dan Pagerungan Besar, pulau Saur dan pulau
Sakala. Kalau anda tahu pulau Batam nah seperti itulah kedudukan pulau Sapeken.
Walaupun luasnya kira-kira setengah ITS, pulau Sapeken mempunyai jumlah
penduduk yang tinggi yaitu sekitar 12.600 jiwa. Bayangkan bagaimana kepadatan
di pulau tersebut.
Sulit
mengatakan keadaan ekonomi pulau tersebut. Mayoritas penduduk bermata
pencaharian sebagai nelyan dan pedagang. Ditinjau dari segi bentuk rumah
mayoritas berbentuk rumah panggung yang kelihatanya bisa dikatakan rumah yang
sederhana sekali. Mereka membuat rumah panggung karena dulu pada waktu air laut
pasang sampai masuk ke rumah penduduk. Kembali ke masalah ekonomi. Bila
ditinjau dari segi kepemilikan isi perabotan rumah tanggah, mereka termasuk
orang orang yang mampu. mayoritas mereka mempunayai TV 21 inc, kulkas, Hp yang
minimal ada kameranya. Maklum mereka mudah mencari uang tinggal pergi melaut
dapat ikan dijual sudah dapat pendapatan. Kalau uangnya masih banyak ya…pergi
ke kota belanja. Umumnya mereka pergi ke kota Singaraja karena untuk perjalan
hanya dapat ditempuh kira-kira 6 jam.
Geografi
dan Demografi
Pelabuhan Sapeken
Kecamatan
Sepeken mempuanyai luas total wilayah 201,88 Km 2 (9,64 % dari luas Kabupaten
Sumenep). Jumlah Desa di Kecamatan Sepeken sebanyak 9 desa antara lain. Selain
itu terdapat juga beberapa pulau yang masih masuk wilayah administrasi
Kecamatan Sepeken. Jumlah pulau terdiri dari 53 terdiri dari 21 pulau berpenghuni,
32 pulau tidak berpenghuni.
Kecamatan
Sepeken berbatasan dengan laut dan kecamatan lain. Pada sisi sebelah utara
dibatasi oleh Laut Kalimantan, sebelah selatan dibatasi Laut Bali, sebelah
timur dibatasi oleh Laut Sulawesi, sebelah barat dibatasi oleh Laut Jawa.
Jumlah penduduk Kecamatan Sepeken secara keseluruhan berjumlah 37.765 jiwa
(Bappeda Kab. Sumenep, 2003). Komposisi penduduk Kecamatan Sepeken terdiri dari
laki-laki sebanyak 18.677 jiwa (49,46 %) dan perempuan 19.088 jiwa (50,54 %).
Rasio jenis kelamin sebesar 97,85 % dengan kepadatan penduduk sebanyak 187,06
jiwa/Km 2.
Sarana
dan Prasarana
Sarana
dan prasarana yang tersedia di Kecamatan Sepeken meliputi perhubungan,
penerangan listrik, komunikasi, air bersih, perdagangan, pendidikan, kesehatan,
sarana ibadah, kantor pemerintah, dan lembaga keuangan.
Sarana
dan prasarana perhubungan berupa jalan, darmaga, dan sarana angkutan. Panjang
jalan darat secara keseluruhan sepanjang 39,341 Km dengan kondisi jalan rusak
9,53 %. Sarana angkutan darat bermotor terdiri dari truck, pick up, sepeda
motor dan tidak bermotor terdiri dari becak dan sepeda. Sarana lain yang
terdapat di Kecamatan Sapeken adalah darmaga/pelabuhan terdapat di Desa
Sepeken, Pegerungan kecil dan besar, Sabunten, Paliat, Sasili, sepanjang dan
Sakala. Selain itu juga terdapat air port (bandara) yang terdapat di Pulau Saor
Desa Sapeken.
Penerangan
listrik di Kecamatan Sepeken sebagian besar sudah menggunakan PLN. Jumlah RT
yang memakai PLN sebanyak 1.029 RT terdapat di sebagian besar desa dan non PLN
sebanyak 309 RT terdapat di Desa Pagerungan kecil dan besar. Sarana komunikasi
juga tersedia cukup lengkap antara lain kantor pos 1 unit, wartel 18 unit,
telkom 1 untit, telpon rumah tangga 278 RT dan telpon umum sebanyak 18 RT.
Sarana
air bersih di Kecamatan Sepeken sangat mengandalkan air sumur. Seluruh desa
sebanyak 9 RT memanfaatkan air sumur sebagai sumber air bersih. Untuk aktivitas
perdagangan Kecamatan Sepeken dilengkapi dengan pasar desa. Sedangkan untuk
pengembangan sumberdaya manusia, Kecamatan Sepeken dilengkapi dengan sarana
penddikan yang cukup lengkap. Hal itu tercermin dari ketersediaan sarana
pendidikan yang cukup merata pada semua level pendidikan. Jumlah TK sebanyak 19
unit, SD sebanyak 32 unit, MI sebanyak 30 unit, SMP sebanyak 3 unit, MTs
sebanyak 3 unit, dan MA sebanyak 1 unit.
Sarana
kesehatan di Kecamatan Sepeken terdiri dari Puskesmas, Puskesmas pembantu dan
BKIA/Polindes. Puskesmas berjumlah 1 unit terdapat di Desa Sepeken. Sedangkan
puskesmas pembantu berjumah 5 unit menyebar di beberapa desa. Sedangkan
Polindes sebanyak 6 unit terdapat di sebagian besar desa.
Seluruh
masyarakat di Kecamatan Sapeken memeluk agama Islam. Sarana ibadah meliputi
mesjid sebanyak 31 unit, surau/musholla sebanyak 96 unit. Untuk tata administrasi
pemerintahan di kecamatan Sepeken sarana kantor desa baru sebagian kecil ada.
Sedangkan sebagai penggerak ekonomi dan keuangan di Kecamatan Sepeken juga
sudah teredia lembaga keuangan yaitu koperasi simpan pinjam sebanyak 3 unit.
Perekonomian
Sektor
penggerak perekonomian Kecamatan Sepeken meliputi bidang pertanian tanamangan
pangan, kehutanan dan perkebunan, peternakan, perikanan, industri, energi dan
pertambangan serta wisata.
Produk-produk
pertanian tanaman pangan meliputi padi, jagung dan ubi kayu. Produksi pertanian
tanaman pangan masih didominasi oleh jagung, ketela pohon, kacang hijau, kacang
tanah dan padi. Bidang kehutanan dan perkebunan terdiri dari kelapa, mente,
mangga, pinang, pepaya dan pohon jati. Produk kehutanan dan perkebunan didominasi
oleh kelapa. Bidang peternakan terdiri dari sapi, kuda, kambing, ayam dan
itik/bebek. Bidang peternakan didominasi oleh sapi. Sedangkan bidang lainnya
meliputi bidang industri (industri kecil makanan/minuman, Meubel, kimia dan
minyak bumi dan industri kecil tas). Bidang lain yang tidak kalah pentingnya
adalah bidang energi dan pertambangan terdiri dari tambang gas dan minyak
bumi/gas alam. Selain itu bidang yang potensial berkontribusi terhadap
perekonomian adlaah bidang pariwisata yaitu berupa wisata budaya, alam dan
konservasi.
Khusus
untuk bidang perikanan, potensi yang dimiliki Kecamatan Sepeken meliputi
penangkapan ikan di laut, budidaya, perdagangan dan pengolahan. Hasil
penangkapan ikan di laut antara lain ikan karang, ikan hias, layang, kepiting,
dan kerang. Usaha penangkapan ikan didukung oleh armada tangkap berupa perahu
bermotor 2.399 unit yang terdapat di seluruh desa dan tidak bermotor 1.214 unit
.
Selain
perikanan tangkap, bidang perikanan lainnya yang cukup berkembang yaitu
budidaya perikanan dan pengolahan hasil perikanan. Jenis budidaya perikanan
yang terdapat di Kecamatan Sapeken adalah budidaya laut meliputi budidaya
rumput laut (Pulau Sapeken), budidaya ikan karang (P. Sapeken, P. Sibatok, P.
Saular dan P. Sadulang kecil), budidaya layang (P. Sapeken) dan budidaya
mutiara (P. Sepangkur besar dan kecil, P. Sabunten dan P. Paliat). Budidaya
laut lainnya yang banyak terdapat di Kecamatan Sapeken adalah Budidaya penyu,
budidaya kepiting (P. Sepangkur dan P. Sasil), budiadya mangrove (P. Bangkau)
dan Budidaya terumbu karang (P. Saor).
Suku
Bajo Terpadat di Dunia.
Kendati
sempit, pulau ini dihuni oleh sekitar 12.600 jiwa. Dari jumlah itu, penduduk
Suku Bajo berdasarkan Sensus Penduduk yang dilakukan Badan Pusat Statistik
tahun 2000 berjumlah sekitar 5.526 orang. Bisa dibayangkan, inilah Suku Bajo
dengan populasi terpadat di Indonesia dan dunia.
Menurut
Antropolog asal Jepang yang mendalami Suku Bajo, Prof Nagatzu Kazufumi,
populasi Suku Bajo di seluruh dunia tercatat sekitar 1,1 juta orang. Mereka
tersebar di daerah- daerah pantai di Pulau Sulu (Filipina), pantai Sabah
(Malasyia), dan Indonesia.
Di
Indonesia, Suku Bajo tersebar di berbagai pulau-pulau kecil dan pantai seperti
di Provinsi Kepulauan Riau, Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Tengah,
Sulawesi Tenggara, Sulewesi Selatan, Jawa Timur, dan lain-lain. Lalu, dari
manakah Suku Bajo berasal, Indonesia atau Filipina? Kalau pertanyaan tersebut
ditujukan pada masyarakat Bajo, umumnya mereka serempak bakal menjawab tidak
tahu. Maklum, gaya hidup mereka yang selalu berpindah-pindah dari satu pulau ke
pulau lainnya membuat generasi sekarang ini seolah kehilangan nenek moyang
mereka.
Manusia
Laut Menurut Kazumi dalam karya ilmiahnya yang diterbitkan jurnal Hakusan
Review of Anthroplogy edisi ke-13 (Maret 2010), ada dua hipotesa menyangkut
asal mula Suku Bajo. Pertama, diajukan ahli geografi ternama D.E. Sopher yang
telah dipublikasikan dengan judul Th e Sea Nomads atau Manusia Laut yang
Berpindah-pindah (1977).
Menurutnya,
secara periodik Suku Bajo bermigrasi dari Pulau Lingga (Riau) sejak abad ke-14
sampai abad ke-17 menuju pantai barat Kalimantan. Dari sini mereka lalu
menyebar ke Sulu (Filipina) dan pantai-pantai di Pulau Sulawesi. Kalau melihat
hipotesa Sopher tersebut, bisa jadi asal mula Suku Bajo berawal dari Pulau
Lingga, yang sekarang secara administrasi berada di Provinsi Riau Kepulauan.
Lain lagi dengan hipotesa yang diajukan ahli lingusitik AK Pallesen dan ahli
etnografi HA Nimmo.
Dilihat
berdasarkan bahasa yang dipakai kelompok tersebut, Pallesen dan Nimmo
berpendapat, Suku Bajo berasal dari Mindanao, Filipina. Menurutnya, pada abad
ke-10 itulah mereka lalu menyebar ke Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Terlepas dari asal mulanya, keberadaan Suku Bajo di Indonesia tergolong unik.
“Mereka hanya mendiami kawasan pantai yang memiliki potensi ikan yang
berlimpah.
Hasil
riset Nagatsu menunjukkan, dimana ada Suku Bajo tinggal, di situlah dasar
lautnya memiliki kualitas terumbu karang yang masih terjaga dengan baik,” ujar
Prof Dr Aris Poniman, profesor riset yang baru-baru ini mendalami distribusi
spasial Suku Bajo di Indonesia. Begitu juga keberadaan Suku Bajo di Pulau
Sapeken. Riset memang membuktikan, perairan di Sapeken, Kangean, dan sekitarnya
masih memiliki terumbu karang yang bagus.
Kelimpahan
terumbu karang inilah yang menjadi daya tarik bagi beragam jenis ikan untuk
memijah, membesarkan, tempat bermain bagi anak-anak ikan, berlindung, mencari
pakan, dan lain-lain. Singkat kata, terumbu karang yang baik menunjukkan
kelimpahan biota laut yang besar. Begitu juga sebaliknya, terumbu karang yang
hancur hanya menyisakan padang pasir yang sunyi dari kehidupan biota laut.
Itulah
sebabnya, tak ada Suku Bajo yang tinggal di pesisir utara Jawa. Mereka tahu,
selain terumbu karang sudah hancur, perairannya juga kotor akibat parahnya
pencemaran dari hasil aktivitas manusia di daratan Pulau Jawa. Kondisi semacam
ini jelas sangat sulit untuk memburu ikan, udang, lobster, dan lain-lain.
Terdampar
di Sepekan
Lalu
dari manakah Suku Bajo yang sekarang ini menetap di Pulau Sapeken? Berdasarkan
beberapa kajian, menilik bahasa dan logat yang dipakai, mereka berasal dari
Sulawesi Selatan. Konon, menurut cerita dari mulut ke mulut, mereka terdampar
di pulau tersebut dan tidak dapat keluar selama satu pekan (satu minggu).
Dari
sinilah lalu pulau kecil itu dinamakan Pulau Sapeken. Kini, pulau tersebut
didominasi komunitas Suku Bajo. Hampir separo dari jumlah penduduk itu dihuni
oleh Suku Bajo. Sisanya, berasal dari Suku Bugis, Madura, Jawa, Bali, Sunda,
dan Aceh. Seluruh penduduk tersebut memeluk agama Islam. Kendati kegiatan
kebudayaan didominasi oleh Suku Bajo, mereka tetap hidup rukun dan damai.
Ini
dikarenakan mereka tetap menjunjung tinggi budaya dan adat suku lainnya seperti
Madura, Jawa, Bali, dan Bugis. Bagi Suku Bajo, tinggal di Pulau Sapeken
memiliki kenyamanan tersendiri. Selain perairannya masih bersih, lingkungan
ekosistem lautnya juga masih sehat. Letaknya juga terbilang strategis, yakni
dikelilingi pulau-pulau Kangean, Pagerungan Kecil, Pagerungan Besar, Saur,
Sakala, dan lain-lain.
Kondisi
geografis semacam ini cocok bagi Suku Bajo yang memiliki matapencaharian
sebagai nelayan. Apalagi ada pelabuhan yang digunakan untuk melayani
pulau-pulau di sekitarnya. Tak jauh dari situ, ada juga eksplorasi minyak berskala
komersial. Komplit sudah, di dasar laut memiliki keragaman hayati tinggi.
Sementara
itu, di bawah dasar laut terdapat cadangan minyak bumi yang berlimpah ruah.
Meskipun diselimuti potensi sumber daya laut berlimpah, namun kehidupan di
Pulau Sapeken tergolong sederhana. Coba lihat bentuk tempat tinggalnya, berupa
rumah panggung dengan bahan lokal seadanya. Rumah panggung dibuat untuk
menghindari pasang laut agar air tidak menerobos masuk ke rumah. Alat
transportasinya becak, sepeda motor, dan gerobak kecil untuk mengangkut hasil
tangkapan ikan ke pasarpasar tradisional.
Untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari, mereka lebih memilih ke Banyuwangi (Jawa Timur)
dan Singaraja (Bali) daripada Kalianget (Sumenep, Madura). Maklum, waktu tempuh
ke Banyuwangi dan Singaraja jauh lebih cepat. Jika ombak tenang, perjalanan
bisa ditempuh dalam waktu 6 jam. Namun jika sedang berombak tinggi, perjalanan
tersebut perlu waktu 9 jam.
Kemelaratan
Hidup Masyarakat Pulau Pagerungan
Rumah Adat
Pagerungan
adalah pulau kecil pada gugusan kepulauan Sapeken. Pulau ini terletak di
sebelah timur laut Pulau Madura. Dengan perjalanan menggunakan perahu
bermesin diesel, pulau ini dapat ditempuh sekitar 8 jam dari Sumenep. Meskipun
letaknya terpencil, Pulau Pagerungan menawarkan penorama tropis yang eksotik di
tengah-tengah pergulatan warganya didalam menggantungkan hidupnya pada laut.
Meskipun
Pulau Pagerungan ini masuk wilayah kabupaten Sumenep, namun kebudayaan setempat
seperti rumah adat, cenderung berkiblat pada Suku Bajo yang
terdapat di Sulawesi. Bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi sehari-hari pun
mereka menggunakan Bahasa Bajo yang berbeda jauh dengan Bahasa Madura.
Pulau
ini tidak terlalu luas. Membentang sekitar tiga kilometer. Sehingga kalau kita
berjalan mengikuti garis terluar pantai maka waktu yang dapat ditempuh untuk
mengelilingi pulau ini hanya sekitar satu jam perjalanan. Jumlah penduduknya
pun kurang lebih seratus kepala keluarga. Fasilitas umum pulau ini sangat
terbatas, hanya ada sebuah masjid, sebuah Sekolah Dasar Impres, beberapa
kios pedagang dan sebuah klinik kesehatan yang temboknya sudah retak dan
dipenuhi dengan lumut.
Anak-anak
di pulau ini setelah lulus SD, untuk melanjutkan SMP mereka harus sekolah di
pulau seberang yakni Pulau Pagerungan Besar. Setiap pagi mereka berangkat ke
sekolah secara bergerombol dengan menaiki sebuah perahu kecil bermesinkan
diesel. Dan menjelang siang ketika mereka pulang, perahu yang mengangkut
murid-murid SD tersebut tiba kembali disertai tawa riang suara mereka. Sedangkan
kalau melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi, setingkat SMA, maka mereka
harus menyeberang ke Pulau Sapeken yang dapat ditempuh dua jam perjalanan.
Untuk
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari warga pulau ini menggantungkan laut
sebagai mata pencaharianya. Mayoritas warganya adalah Nelayan, sisanya
pedagang dan guru. Sedangkan bercocok tanam hanya sebagai sampingan saja,
ketika tidak melaut. Karena masih menggunakan cara-cara tradisional, maka para
nelayan disini masih tergantung pada musim. Kalau angin sedang kencang dan
ombaknya besar maka nelayan disini tidak melaut. Biasannya pada musim itu
mereka lebih suka untuk memperbaiki jaring yang rusak maupun mengecat perahu
yang mereka galang ditepian pantai. Sambil diiringi sayup-sayup suara radio
mereka membersihkan perahu yang kayunya banyak ditempeli kerak karang laut
maupun lumut. Mereka membersihkannya dengan senang hati mengisi
kekosongan waktu ketika istirahat melaut.
Tidak
seperti nelayan di Jawa yang sudah menggunakan perlengkapan radar pencari ikan
dan perahu besar, nelayan disini masih menggunakan perlengkapan tradisonal.
Mereka mengandalkan pancing dan jaring payang untuk menangkap ikan.
Sehingga hasil tangkapannya pun untung-untungan. Kalau sedang mujur biasannya
mendapat tangkapan banyak. Sebaliknya kalau buntung, seekor ikan pun tidak
berhasil mereka tangkap. Perahu yang mereka gunakan pun masih tergolong
perahu kecil yang hanya mampu memuat sepuluh orang. Dan sebagian lagi
masih mengandalkan layar guna melaut, tanpa dilengkapi mesin. Ketika di tepi
pantai mereka menggunakan dayung, dan ketika angin berhembus cukup baik, layar
baru dikembangkan yang akan membawanya ke tengah laut. Sedangkan perahu Nelayan
di Jawa mayoritas sudah menggunakan mesin lebih dari satu. Seperti model perahu
Pursin yang mampu menampung awak lebih dari dua puluh orang. Bahkan
perahu Pursin nelayan Pekalongan Jawa Tengah sudah dilengkapi
dengan tiga buah mesin standar 200 PS mampu memuat tiga puluh nelayan lebih
dengan muatan 40-an ton.
Ketika
bulan purnama tiba, ssewaktu para nelayan tidak ada melaut, maka warga akan
berkumpul didepan rumah. Mereka bergerombol sambil saling bercerita. Sedangkan
anak-anak kecil bermain-main dihalaman rumah. Ada yang main kejar-kejaran
maupun bermain gelang karet. Sementara itu ombak terus berdebur tiada hentinya,
mengikis pasir yang kelihatan penuh gemerlapan. Di tengah-tengah laut, sinar
rembulan terpantul membiaskan seberkas cahaya. Laut
seolah-olah bermandikan cahaya. Perahu nelayan tertambat rapi, dipinggir
dermaga kayu, terombang-ambing oleh gelombang pasang air laut. Pohon
kelapa sepertinya menari-menari diterpa angin yang tidak terlalu kencang.
Di sebuah rumah tampak suara-suara orang bercengkrama, sesekali terdengar suara
tawa. Itulah salah satu rumah yang menjadi tempat berkumpul warga Pulau
Pagerungan. Mereka menghabiskan malam-malam yang hanya diiringi deburan ombak
pantai yang tak kenal lelah dan suara-suara serangga yang mengerik.
Suasananya jauh dari kebisingan knalpot kendaraan dan lalu lalang hentakan
langkah manusia yang mengadu nasib ditengah-tengah kerasnya kota metropolis.
Harapan
bagi penduduk pulau Pagerungan ini adalah adanya perbaikan sarana dan prasarana
yang memadai, seperti Transportasi maupun fasilitas-fasilitas umum. Baik
fasilitas listrik, sarana pendidikan dan kesehatan maupun jalan. Apalagi
panorama pulau ini masih alami, sehingga potensi untuk dikembangkan
menjadi kawasan pariwisata sangat terbuka lebar. Hamparan pasir putihnya
dengan terumbu karang yang tersebar diperairan adalah pesona yang tak terkira,
keramah tamahan penduduknya menjadi salah satu daya tawar yang cukup
menarik bagi para wisatawan. Belum lagi potensi perikanan yang ada dikawasan
ini yang masih cukup besar, dan belum dikembangkan secara modern. Aset
tersebut selayaknya dijaga kelestariannya. Mengingat banyak terumbu karang yang
berada pulau-pulau disekitar kondisinya sudah sangat memperihatinkan. Pulau itu
sepatutnya mendapat perhatian serius bagi pemerintah daerah setempat sebagai
sebuah sorga yang terlupakan, sorga yang harus diselamatkan dan diberdayakan
sehingga akan menjadi sorga sebenarnya.
Sumeber : http://octadiansyah.blogspot.co.id/2015/02/latar-belakang-pulau-sapeken.html
Asal Mula Desa Arjasa Kangean
Posted by : Unknown / on :
Dahulu kala ditemukan sebuah pulau yang
terletak di belahan timur kabupaten sumenep, Yang kini dikenal dengan
pulau “KANGEAN “. Oleh raja sumenep, pulau ini dijadikan tempat
orang-orang yang mendapatkan hukuman berat karena kesalahan yang sangat
besar. Tempat ini juga merupakan tempat para perompak pada zaman dahulu
kala. Tidak hanya perompak, namun para bajak laut dan preman-preman
yang mendiami pulau tersebut pada waktu itu .Orang-orang ketika itu
menyebutnya dengan pulau kangean karena ketika air laut pasang , pulau
itu tidak akan tampak dari kejauhan. Tetapi ketika air surut, Pulau ini
akan tampak seperti muncul kepermukaan. Banyak versi yang menyatakan
filosofi mengenai pulau ini, diantaranya seperti yang akan dipaparkan
untuk selanjutnya. Pulau kangean ini beribukota “Arjasa”, Kota Arjasa
sebagai kota kecamatan di pulau kangean. Nama “Arjasa” yang menjadi
nama kecamatan dan desa pada masa kini yang terletak di pulau kangean
ini, desa yang menjadi pusat pemerintahan di pulau kangean tersebut,
dikarenakan letaknya berada ditengah-tengah pulau kangean.
- Ada beberapa hal yang menjadikan pertimbangan Mengenai Nama Arjasa yang dipilih menjadi pusat pemerintahan ketika itu ialah memiliki beragam versi, diantaranya selain tempat itu terletak di tengah-tengah pulau kangean; Dikarenakan Nama Raja yang berawal menjadi arja yang memerintah pada masa itu , kemudian diberitambahan Sa. Arjasa juga menjadi nama sebuah kota di JawaTimur, diantaranya Kota situbondo, dan jember. Mungkin nama itu dipakai untuk nama kembar karena ada keterkaitan sejarah. Kemungkinan juga ada kaitannya Ketika Raja Ken Arok menjadi raja dengan nama Prabu Rajasa, Nama itu dekat dengan nama arjasa. Kemudian Bangsawan keraton sumenep yang biasanya Arja atau Te-arja, sehingga nama itu digunakan untuk nama arjasa, tidak ada sumber yang memenuhi syarat untuk dijadikan kajian yang akurat, baik dalam bentuk kepustakaan, maupun narasumber, sebab nama itu telah dikenal ratusan tahun yang lalu, Sejak terbentuknya kerajaan Sumenep di bawah pimpinan Arya Wiraraja. Ada beragam versi yang menceritakan tentang desa ini.
Versi yang pertama, Konon Nama desa
arjasa Berasal dari nama seorang putra Raja sumenep. Konon dahulu
terdapat raja yang bijaksana yang bernama Arya Wiraraja di daerah
sumenep. Pada masa pemerintahannya sangatlah damai dan sejahtera, beliau
memiliki putra yang bernama arya jasa. Pada suatu hari di kerajaan itu
terjadi sebuah permasalahan yang tak kunjung bisa dipecahkan , sehingga
sang raja pun begitu kebingungan untuk mencari cara bagaimana
permasalahan ini bisa dipecahkan. Pada suatu malam sang raja bermimpi,
didalam mimpi tersebut beliau mendapatkan sebuah petunjuk tentang
permasalahan yang telah terjadi di kerajaannya tersebut.
Di dalam mimpi itu beliau diminta agar
mengutus putranya untuk pergi bertapa ke sebuah pulau yang terpencil di
belahan timur kabupaten sumenep, Tepatnya daerah pulau kangean. Keesokan
paginya, sang raja memanggil Arya jasa untuk menyampaikan isi dari
mimpinya tersebut kepada arya jasa. Raja memerintah putranya untuk
bertapa di daerah belahan timur pulau kangean yang sekarang dikenal oleh
masyarakat sebagai desa “patapan” , Desa ini dinamakan desa patapan
dikarenakan tempat tersebut merupakan tempat pertapaan sang arya jasa
guna mencari petunjuk yang telah dipetuahkan oleh romonya itu, Agar bisa
menemukan kekuatan karena di masa itu terjadi kekacauan dalam
pemerintahan nya. Dengan kepatuhannya terhadap ayahandanya arya jasa pun
melaksanakan apa yang diperintahkan oleh ayahandanya tersebut, walaupun
apa yang menjadi perintahnya itu belum begitu jelas baginya dan dia pun
belum mengerti akan apa yang harus dilakukan untuk selanjutnya. Arja
jasa turut perihatin akan apa yang tengah terjadi di kerajaannya itu,
sehingga dia dengan semangat dan gigih melaksanakan apa yang sudah
diperintahkan oleh ayahandanya tersebut. Arya jasa pun meninggalkan
kerajaan dan pergi untuk melaksanakan petuah dari ayahandanya tersebut.
Setelah sekian lamanya bertapa, arya
jasa mendapatkan semacam petunjuk mengenai kekuatan itu. Petunjuk
tersebut meminta agar arya jasa pergi mengembara mengelilingi pulau
kangean tersebut. Kemudian arya jasa pergi mengembara, Setelah beberapa
lamanya mengembara akhirnya arja jasa mendapatkan jawaban dari petunjuk
tersebut , Petunjuk tersebut mengantarkannya ke sebuah desa , disana Dia
menemukan sebuah keris di sebuah desa yang sebelumnya tak bernama, dan
kemudian desa tersebut diberi nama yang kini dikenal sebagai desa
arjasa. Kemudian setelah itu, arya jasa kembali mengembara ke tempat
lain untuk menyusuri pulau kangean, dia berjalan ke bagian timur,
ditempat itu arya jasa melakukan persemedian untuk memanggil romonya
agar segera menemuinya di sebuah desa yang sekarang bernama sambakati.
Sambakati ber-makna “sembah bakti” yaitu karena ditempat itu merupakan
tempat penyerahan keris yang telah ditemukan oleh arya jasa , hasil dari
pengembaraannya tersebut. Kepada orang tuanya Keris tersebut diberikan
di desa itu sebagai bentuk sebuah bakti putranya demi kesejahteraan
rakyat kerajaan. Perjalanan arya jasa tidak berhenti sampai disini, dia
kembali berkelana ke belahan barat pulau kangean , kembali dia menempati
sebuah kampung di desa arjasa yang dinamai “Kettheb” . Konon kampung
tersebut dinamai “Kettheb” dikarenakan pada waktu itu para penduduk
kampong disana mayoritas menjadi khotib (imam jum’at).
Versi yang ke dua, Konon juga diceritakan
Bahwa Pulau Kangean itu ialah hanya sebuah hutan, sehingga suatu sa’at
datang seorang putri dari kerajaan madura yang bernama putri koneng,
Putri koneng tersebut mendatangi kangean dengan berlayar, Tujuannya
pergi kesana karena ketika itu putri koneng tengah dimabuk cinta pada
seorang sosok joko tole. Namun ayahnya (Raden fatahillah) tidak merestui
hubungan mereka berdua, suatu kesedihan yang sangat melukai perasaannya
sehingga dia berniat untuk meninggalkan kerajaan kemudian tinggal
dipulau kangean tersebut. Berita kepergian putri koneng didengar oleh
joko tole dan akhirnya dia berusaha untuk mencari dimana keberadaan
putri koneng, dia mencari dan terus mencari dimana keberadaan potre
koneng tanpa henti dengan gigihnya dan tidak pernah menyerah. Dia
menyusuri keseluruh tempat-tempat, Joko tole mencarinya hingga ke pulau
kangean tersebut namun belum ada hasil yang pasti, Dia menyusuri seluruh
pelosok pulau kangean tanpa hentinya, namun putri koneng belum juga
ditemukan.
Di sisi lain, Ketika itu putri koneng
tengah bertapa disebuah Gua yang kini dikenal dengan Gua koneng. Gua itu
dinamakan gua koneng dikarenakan gua itu menjadi tempat pertapaan putri
koneng menurut kepercayaan warga yang berada di sekitar gua itu.
Setelah beberapa lamanya, putri koneng
menetap digua tersebut. Rasa jenuh dan bosan pun menghampiri potre
koneng, Akhirnya putri koneng berkeinginan untuk mencari udara segar,
putri koneng pergi kesebuah desa. Dan akhirnya tanpa dia sadari ketika
itu joko tole menemukan keberadaan putri koneng . kemudian desa itu
dinamakan desa arjasa karena desa itu telah berjasa mempertemukan joko
tole dengan putri koneng.
Dari berbagai cerita yang sudah
dipaparkan diatas, berikut hanyalah sebatas pemikiran-pemikiran cerita
beserta sejarah-sejarah dari orang-orang yang terdahulu . Dimana belum
ada fakta yang konkrit, hanya sebatas cerita demi cerita dari
orang-orang terdahulu.
Sekian, Mudah-mudahan cerita ini akan
selalu diingat oleh masyarakat yang menempati desa tersebut, khususnya
saya yang menjadi salah satu penduduk disana.
Sumber : https://ensiklopedimadura.wordpress.com/2013/01/24/asal-mula-desa-arjasa-kangean/
Sejarah Madura
Posted by : Unknown / on :
Sebelum abad ke 18, Madura terdiri dari kerajaan-kerajaan yang saling
bersaingan, akan tetapi sering pula bersatu dengan melaksanakan politik
perkawinan. Di antaranya kerajaan-kerajaan tersebut adalah Arosbaya,
Blega, Sampang, Pamekasan dan Sumenep.
Di samping itu kerajaan-kerajaan
di Madura berada dibawah supermasi dari kerajaan yang lebih besar yang
kekuasaannya berpusat di Jawa. Antara tahun 1100-1700, kerajaan-kerajaan
itu berada dibawah supermasi kerajaan Hindu di Jawa Timur,
kerajaan-kerajaan Islam dipesisir Demak dan Surabaya serta kerajaan
Mataram di Jawa Tengah.
Peda pertengahan abad ke 18, Madura berada di bawah pengarush VOC/Kompeni Belanda. Setelah Kompeni dibubarkan pada tahun 1879, Madura dengan berangsur-angsur menjadi bagian dari Kolonial Belanda sampai dengan masa pendudukan Bala Tentara Jepang.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, Pulau Madura berstatus sebagai Karesidenan dalam Provinsi Jawa Timur. Pada akhir tahun 1947, Madura diduduki kembali oleh Pemerintah Penjajah Belanda. Untuk memperkuat cengkramannya atas Pulau Madura, seperti halnya terhadap daerah lainnya di Indonesia yang didudukinya, pada tahun 1948 Pemerintah Penjajah Belanda membentuk Negara Madura. Status sebagai negara tersebut berlangsung sampai kurun waktu pengakuan kedaulatan Republik Indonesia Serikat pada tahun 1949-1950 oleh Belanda.
Dalam Negara Republik Indonesia Serikat (RIS), Madura merupakan salah satu Negara Bagian bersama-sama dengan Negara-Negara Bagian lainnya, seperti Republik Indonesia Yokyakarta, Indonesia Timur, Pasundan, Sumatra Timur, Sumatra Selatan, Jawa Timur, Kalimantan Barat. Status Madura di dalam wadah RIS hanya berusia pendek, karen pada tahun 1950 itu juga Rakyat Madura telah membubarkan Parlemen dan Negara Madura, dan kembali bergabung dengan Republik Indonesia (kesatuan di Yogyakarta).
Semangat Berjuang Melawan Penindasan dan Penjajahan
Sejak jaman dahulu kala, orang-orang Madura memiliki semangat untuk melawan segala bentuk penindasan dan penjajahan baik yang dilakukan oleh kekuasaan dan kekuatan dari luar. Hal tersebut dapat kita ketahui baik dari legenda-legenda yang berkembang di kalangan rakyat Madura maupun buku-buku/tulisan-tulisan dan laporan-laporan penguasa yang pernah memerintah Pulau Madura.
1. Menurut cerita jaman kuno (± abad pertama Masehi), yang ditulis diatas daun lontar, pada suatu saat kerajaan Mendangkawulan kedatangan musuh dari negeri Cina. Didalam peperangan tersebut Mendangkawulan berkali-kali menderita kekalahan, sehingga kedatangan seorang yang sangat tua dan berkata bahwa di Pulau Madu Oro (Madura) bertempat tinggal anak muda bernama Raden Segoro (Segoro = laut). Raja dianjurkan minta bantuan kepada Raden Segoro jika didalam peperangan ingin menang. Raden Segoro berangkat dengan membawa senjata Si Nengolo dan berperanglah untuk mengusir tentara Cina. Tentara musuh banyak yang tewas dan kerajaan Mendangkawulan menang dalam peperangan.
2. Cerita lain tentang kepahlawanan oerang-orang Madura, ialah terjadi sekitar berdirinya kerajaan Majapahit dalam abad ke 13, orang Maduralah yang membuka hutan Tarikdan mendapat bauh maja yang pahit, sehingga daerah baru tersebut disebut Majapahit. Tokoh-tokoh Madura di antaranya ialah Wiraraja, Lembu Sora, Ranggalawe, yang membantu Raden Wijaya sehingga mencapai punjak keberhasilannya dalam mendirikan kerajaan. Sewaktu Raden Wijaya dikejar oleh tentara Jayakatwang dan kerajaan Singosari runtuh, ia mengungsi ke Sumenep minta perlindungan dan bantuan kepada Raden Wiraraja dan sang Adipati Madura inilah yang menyusun rencana agar Raden Wijaya pewaris tahtakerajaan Singosari dapat kembali berkuasa. Memang Wiraraja atau yang disebut Banyak Wide adalah aktor intelektualitas yang memenangkan perang terhadap tentara Tartar yang dikirim oleh Kubelai Khan untuk menaklukkan kerajaan Jawa.
Tentara Tartar mengalahkan kerajaan Jayakatwang Kediri,tetapi tentara Tartar ini pula dihancurkan oleh Raden Wijaya dengan bantuan orang-orang Madura yang bersemangat tinggi dalam berperang untuk mengusir musuh.
3. Peristiwa lain terjadi disekitar abad ke 15, ketika Dempo Awang (Sam Poo Tualang) seorang Panglima Perang dari Negeri Cina nenunjukkan kekuasaannya kepada raja-raja di Jawa dan Madura, agar mereka tundek kepadanya. Didalam peperangan itu, Jokotole dari Madura melawan Dempo Awang yang menaiki kapal layar yang dapat berlayar di laut, diatas gunung diantara bumi dan langit. Demikian menurut cerita legenda. Didalam peperangan itu Jokotole mengendarai Kuda Terbang, pada suatu saat setelah ia mendengar suara dari pamannya (Adirasa), yang berkata "pukul", maka Jokotole menahan kekang kudanya dengan keras dan ia menoleh sambil memukul cemeti (cambuknya) mengenai musuhnya sehingga hancur luluh jatuh berantakan.
Menurut kepercayaan orang bahwa kapal Dampo Awang tersebut hancur luluh ketanah tepat di atas Bancaran (artinya, bâncarlaan), Bangkalan. Sementara Piring Dampo Awang jatuh di Ujung Piring yang sekarang menjadi nama desa di Kecamatan Kota Bangkalan. Sedangkan jangkarnya jatuh di Desa/Kecamatan Socah. Dan menurut cerita bahwa Sam Poo Tualang tersebut adalah seorang Laksamana Cina yang bernama Cheng Hoo.
4. Sewaktu Sultan Agung memimpin Mataram, Ia menjalankan politik pemerintahan untuk mempersatukan Jawa dan Madura, bahkan ingin mempersatukan seluruh kepulauan Nusantara, agar Kompeni sukar melebarkan sayapnya. Karena itu Sultan Agung kadang-kadang menjalankan politik kekerasan. Dalam tahun 1614 Surabaya ditaklukkakn, demikian pula Pasuruan dan Tuban. Akhirnya dalam tahun 1624, Madura mendapat giliran. Pendekatan yang kurang bijaksana menimbulkan peperangan yang dahsyat. Tentara Madura yang berjumlah 2.000 orang melawan pasukan Mataram yang berjumlah 50.000 orang. Perjuangan Rakyat Madura menunjukkan keberanian yang luar biasa, baik pria maupun wanita maju ke garis depan.
Sebanyak 6.000 orang tentara Mataram dapat ditewaskan, tetapi Sultan Agung tidak putus asa, yang gugur segera diganti. Akhirnya Madura dapat ditaklukkan. Satu-satunya keturunan raja Madura yang masih hidup adalah Raden Praseno yang masih belum dewasa. Ia dibawa ke Mataram oleh Sultan Agung dan setelh dewasa dikawinkan dengan salah seorang putri adik Raja Mataram.
Dalam jaman Sultan Agung, Mataram ditakuti oleh Kompeni Belanda, tetapi setelah Amangkurat I berkuasa, Kompeni menjalankan politik pecah belah dan Amangkurat I tidak mempunyai kewibawaan.
Pangeran Alit (adiknya sendiri) dicurigai dan diperintahkan untuk ditangkap dan dibunuh. Raden Maluyo ayah dari Trunojoyo juga menjadi korman. Akhirnya juga Cakraningrat I (Raden Praseno), penasehat umum kerajaan menjadi korban pembersihan.
Trunojoyo maju ke depan hanya karena terdorong untuk membasmi ketidakadilan, kemungkaran dan anti penjajahan. Bukan kekuasaan dan kedudukan yang menjadi tujuan hidup Trunojoyo, dan ini terbukti waktu mahkota kerajaan Majapahit ada ditangan kekuasaannya. Mahkota ini secara turun-temurun jatuh ketangan raja-raja yang menguasai Jawa. Trunojoyo tidak pernah menempatkan mahkota Majapahit diatas kepalanya, pun juga tidak pernah menamakan dirinya sebagai Sesuhunan. Mahkota yang ada ditangannya dikembalikan kepada Susuhunan, asal saja Susuhunan mau ke Kediri dengan tidak berteman dengan Belanda (artinya: Amangkurat II diminta untuk memutuskan hubungannya dengan Belanda).
5. dalam abad ke 18 Kompeni Belanda mengadakan pembatasan-pembatasan serta penindasan-penindasan yang makin merajalela terhadap kekuasaan raja-raja dan rakyat Madura, sehingga di Madura Barat telah terjadi suatu perlawanan yang dipimpin oleh Cakraningrat IV. Tetapi perlawanan tersebut dapat dipatahkan karena Kompeni mendatangkan bala bantuan dari Batavia. Cakraningrat IV terus menyingkir ke Banjarmasin, tetapi akhirnya tertangkap pula disana, Cakraningrat IV terus dikirim ke Kaap de Goede Hoop, dan ia meninggal dunia disana pada tahun 1759.
Orang Madura memberinya nama Pangeran Sidengkap, karena Cakraningrat IV meninggal dunia di tempat pengasingannya yakni Kaap de Goede Hoop.
6. dalam masa pemerintahan Jepang, sejak tanggal 18 Agustus 1942, kekejaman tentara Jepang yang menginjak-nginjak nilai dan martabat rakyat Madura, serta keangkaramurkaannyatelah menimbulkan penderitaan yang membebani rakyat, sehingga ada tahun 1943 telah berkobar suatu pemberontakandi Desa Prajan, Sampang yang dipimpin pesantren setempat.
Kemudian ia dan serta pemimpin-pemimpin pesantren lainnya ditangkap dan ditembak mati. Akhirnya atas campur tangan Panglima Tentara Jepang (Seiko Sisikan) di Jakarta, mereka yang masih ditahan dibebaskan kembali dan pembantaian lebih lanjut dapat dihentikan.
Sampang #1
Sesudah seluruh Mataram dikuasai oleh Sultan Agung, maka Cakraningrat I dipercayai memimpin pulau ini dengan berkeraton di Sampang tetapi ia sering tidak ada di Sampang karena oleh Sultan Agung tenaganya Di butuhkan di Mataram.
Pada suatu waktu ia pulang dari Mataram isterinya (Ratu Ibu) menceritakan bahwa ia seperti kedatangan Nabi Hedir, menanyakan apa yang ia cita-citakan lalu ia menjawab bahwa ia ingin ketujuh keturunannya memegang pemerintahan, Cakraningrat I sepertinya ia tidak puas dengan cerita isterinya, mengapa tidak menjawab untuk keturunan seterusnya, Ratu ibu merasa menyesal dan meneruskan tapanya di Air Mata sampai ia meninggal dunia dan dimakam kan ditempat itu pula, Cakraningrat I meninggal dunia di Mataram karena sengketa dengan Pangeran Alit, karena ia menghalang halangi untuk membunuh kakaknya ialah Sunan Amangkurat I.
Cakraningrat II menggantikan ayahnya dan setelah Trunojoyo dikalahkan keratonnya dipindah dari Sampang ke Tonjung. Pada waktu itu Madura pecah menjadi dua ialah Madura Timur dan Madura Barat (lihat pada perang Trunojoyo) setelah Keraton Sampang dipindah ke Tonjung maka yang memerintah di Sampang ialah Raden Ario Purbonagoro putera Cakraningrat II, selanjutnya lagi digantikan oleh puteranya yang bernama Purbonagoro Ganta' yang terahir Sampang dikuasai oleh keturunan Purbonagoro yang lazim disebut Ghung Purba, kuburan Ghung Purba ini masih dianggap kearmat oleh orang-orang Sampang ialah yang terletak di sebelah selatan Perumahn Pegadaian Sampang.
Selanjutnya Sampang dipimpin oleh Raden Ario Mlojokusumo seorang keturunan dari Bangkalan, sesudah itu Madura langsung diperintahkan oleh pemerintah Hindia Belanda dan yang ditunjuk sebagai Bupati Sampang ialah Raden Ario Kusumadiningrat (tahun 1885). Setelah Kusumodiningrat meninggal dunia diganti oleh Raden Tumenggung Ario Condronegoro. Setelah Bpati Condronegoro meninggal dunia diganti oleh Raden Adipati Ario Setyodiningrat dari Bangkalan, pada tahun 1913 ia mengundurkan diri dan diganti oleh raden Adipati Ario Cakraningrat. Yang menggantikannya di Sampang ialah Raden Tumenggung Kartoamiprojo, kemudian dipindah menjadi Bupati Pamekasan dengan gelar Adipati Ario Kartoamijoyo. Disampang diganti oleh Raden Ario Sosro Winoto.
Pada Tahun 1931 setelah ia mengundurkan diri dengan pensiun, lalu Sampang dirubah statusnya hanya sebagai Kawedanan saja. Pada tahun 1949 pemerintahan Madura Samoang dijadikan Kabupaten lagi dengan Raden Tumenggung Mohammad Eksan dan diangkat sebagai bupatinya lagi. Setelah muhammad Eksan mengundurkan diri dengan hak pensiun maka Raden Soeharjo ditunjuk sebagai gantinya.
Sebagai pelaksana UU Pokok No.1 Tahun 1957, maka K.H. Achmad Zaini dipilih sebagaiKepala Daerah Tingkat II Sampang sampai UU itu dibekukan dan diganti dengan Penpres No 6 Tahun 1959 aka dualisme kepemimpinan di daerah dihapus.
Selanjutnya melalui pencalonan DPRD-GR Kabupaten Sampang, maka M. Wali Hadi diangkat sebagai Bupati kepala Daerah Kabupaten Sampang Tahun 1960 sampai Tahun 1965. Setelah Wali hadi Mengundurkan diri, R.S. Hafidz Soeroso B.A dicalonkan sebagai gantinya oleh DPRD-R dan diangkat oleh Pemerintah Pusat untuk memegang jabatan Bupati Kepala Daerah Kabupaten Sampang.
Sampang #2
Pada Zaman Majapahit di Sampang ditempatkan seorang Kamituwo yang pangkatnya hanya sebagai patih, jadi boleh dikatakan kepatihan yang berdiri sendiri. Sewaktu Majapahit mulai mundur di Sampang berkuasa Ario Lembu Peteng, Putera Raja Majapahit dengan Puteri Campa, LembuPeteng akhirnya pergi memondok di Ampel dan meninggal disana.
Yang mengganti Kamituwo di Sampang adalah puterayang tertua ialah Ario Menger yang keratonnya tetap di Madekan. Menger berputera 3 orang laki-laki ialah Ario Langgar, Ario Pratikel (ia bertempat tinggal di Pulau Gili Mandangil atau Pulau Kambing) dan Ario Panengah gelar Pulang Jiwo bertempat tinggal di Karangantang.
Pratikel mempunyai anak perempuan yang kawin dengan Ario Pojok dan mempunyai anak bernama Kiyai Demang (Demangan adalah tempat kelahirannya) setelah Demang menjadi dewasa ia sering pergi ke tempat tempat yang dipandang keramat dan bertapa beberapa hari lamanya disana, pada suatu waktu ia sedang tertidur dipertapaannya ia bermimpi supaya ia terus berjalan kearah Barat Daya kedesa Palakaran.
Setelah Demang bangun ia terus pulang dan minta ijin pada orang tuanya untuk memenuhi panggilan dalam mimpinya, ayah dan ibunya sebenarnya keberatan tetapi apa dikata, kehendak anaknya sangat kuat. Menurut cerita Demang terus berjalan kearah Barat Daya diperjalanan ia makan ala kadarnya daun-daun, buah-buahan dan apa saja yang dapat dimakan, dan kalau malam ia tertidur dihutan dimana ia dapat berteduh.
Pada suatu waktu ketika ia berhenti melepaskan lelah tiba-tiba datang seorang perempuan tua memberikan bingkisan dari daun-daun, setelah bingkisan dibuka terdapatlah 40 buah bunga nagasari, diamana ada Pohon Nagasari? Perempuan tua itu menjawab bahwa pohon yang dimaksud letaknya didesa Palakaran tidak beberapa jauh dari tempat itu.
Dengan diantar perempuan tua tersebut Demang terus menuju kedesa Palakaran dan diiringi oleh beberapa orang yang bertemu diperjalanan. Sesampainya didesa itu mereka terus beristirahat ditempat pengantarnya sambil menikmati hidangan yang lezat-lezat yang menghidangkan ialah, Nyi Sumekar puteri dari janda itu. Tidak bberapa lam Demang jatuh cinta pada perempuan itu dan mereka kawin, kemudian mereka mendirikan rumah besar, yang kemudian oleh orang-orang disebut keraton kota Anjar (Arosbaya) dari perkawinan Sumekar dan Demang lahirlah beberapa orang anak dengan nama-nama sebagai berikut :
1. Kiyahi Adipati Pranomo
2. Kiyahi Pratolo
3. Kiyahi Pratali
4. Pangeran Panagkan dan
5. Kiyahi Pragalbo.
Pada sauatu saat Demang Palakaran bermimpi bahwa kemudian hari yang akan menggantikan dirinya ialah Kiyahi Pragalbo yang akan menurunkan pemimpi2 masyarakat yang baik, putera yang tertua Pramono oleh ayahnya disuruh bertempat tinggal di Sampang dan memimpin pemerintah dikota itu. Ia kawin dengan puteri Wonorono di Pamekasan karena itu ia juga menguasai Pamekasan jadi berarti Sampang dan Pamekasan bernaung dalam satu kerajaan, demikian pula sewaktu Nugeroho (Bonorogo) menggantikan ayahnya yang berkeraton di Pamekasan dua daerah itu masih dibawah satu kekuasaan, setelah kekuasaan Bonorogo Sampang terpisah lagi dengan Pamekasan yang masing-masing dikuasai oleh Adipati Pamadekan (Sampang) dan Pamekasan dikuasai oleh Panembahan Ronggo Sukawati, kedua-duanya putera Bonerogo.
Kemudian Sampang diperintah oleh Pangeran Adipati Mertosari ialah cucu dari puteri Pramono putera dari Pangeran Suhra Jamburingin, demikianlah diceritakan bahwa memang menjadi kenyataan Kiyahi Demang banyak menurunkan Raja-Raja di Madura.
Jokotole
Setelah Jokotole selesai melakukan peperangan ia kembali ke Sumenep, tidak lama kemudian datanglah Adipodaj (ayah dari Jokotole) untuk menjumpai ibu Jokotole (Puteri Kuning).
Pulau Sapudi
Setelah beberapa hari ke Sumenep, Ia lalu ke Sepudi membawa Puteri Kuning, pada waktu itu di Sepudi yang memerintah ialah nenek Jokotole Panembahan Blingi (Wilingi), setelah itu beliau meninggal dunia, setelah itu Adipodaj menggantikan ayahnya dengan gelar Penembahan Wiroakromo, menjalankan pemerintahan didaerah sekitar Sepudi, Panembahan ini dikenal sudah memeluk Islam siang dan malam suka memegang tasbih dari buah pohon Nyamplong, karena itu banyaklah orang menanam pohon Nyamplong tersebut. Keraton yang ia tempati disebut orang Desa Nyamplong, Adipodaj juga meninggal ditempat itu dan kuburannya disebut Asta Nyamplong yang hingga sekarang masih juga banyak orang yang berkunjng untuk berziarah.
Diceritakan bahwa Adipodaj memang menjalankan pemerintahannya dengan sangat bijaksana dan apa yang menjadi cita citanya dapat direalisir dengan baik, pohon nyamplong yang dianjurkan ditanam ternyata kayunya sangat baik untuk dijadikan alat-alat perahu, Pulau Sepudi dari dulu terkenal dengan sapinya yang sapi itu dilombakan di Madura dan terkenal dengan sebutan 'Kerapan Sapi'.
Menurut keterangan orang hal itu terjadi karena cara-cara Adipodaj memelihara ternak itu tetap tertanam dalam hati dan sanubari rakyat dan rakyat tidak berani merubahnya, petunjuk-petunjuk Adipodaj dalam memelihara ternak dan pertanian dianggap mempunyai kekuatan magis untuk diikutinya dan pelanggaran-pelanggaran dianggap dapat menimbulkan bahaya juga menjadi kebiasaan warga Sepudi, jika ada wabah penyakit menyerang penduduk disana mereka mengeluarkan alat-alat peninggalan Adipodaj (Calo', kodi, dsb) untuk diarak guna menolak adanya wabah penyakit tersebut.
Pulau Kaangean
Pulau lain yang perlu disebut ialah pulau Kangean pulau ini juga sudah terkenal sejak Zaman Majapahit. Empu Prapanca dalam kitabnya Negara Kertagama menulis sebagai berikut :
Syair 15 ( 2 )
Kunang tekang nusa Madura tanami Iwir parapuri
Ir denya tunggal mwang Yawadharani rakwekana
Dengu ............................
Syair 14 ( 5 )
Ingkang sakanusa Makasar butun Bangawi
Kuning Ggaliyao mwang ing Salaya Sumba Solot
Muar .................................
Jadi Pulau Kangean pada Zaman Majapahit disebut Galiyao. Di pulau itu pada saat itu sudah ditempatkan seorang Adipati, semula tempat tersebit adalah pembuangan bagi orang orang yang mendapt hukuman berat dari Raja. Tetapi kerena tanahnya subur (sawah, ladang) dan banyaknya penghasilan yang didapat dari lautan (ikan) beserta hasil hutannya maka lambat laun pulau itu menjadi pusat perdagangan serta banyak orang dari Sumenep dan dari daerah lain yang menetap di Kangean.
Diceritakan bahwa Jokotole (Setyoadiningrat III) memegang pimpinan pemerintahan di Sumenep sampai berumur lanjut dengan sangat memuaskan bagi lapisan masyarakat. Pada suatu saat datanglah utusan dari bali dengan menaiki sebuah kapal dan membawa surat bahwa putera mahkota Bali akan datang berkunjung ke Sumenep, kedatangan mereka di sambut baik oleh Raja Sumenep, akan tetapi setelah sampai ke Istana mereka ngamuk-ngamuk sehingga banyak orang-orang yang terluka atau mati terbunuh begitu juga dengan Jokotole ia mendapat luka-luka dan dibawa lari Lapataman dengan dipikul memakai tandu menuju ke keraton lama di Banasareh tetapi diperjalanan Jokotole meninggal dunia, sukar sekali dicari air untuk memandikan jenazah, karena itu Raden Ario Begonondo (putera Jokotole) menancapkan tongkat ibunya yang dipakai di Socah dan keluarlah air dari tanah.lalu tempat itu disebut Sa-Asa yang artinya tempat untuk mencuci Jokotole dan sekarang termasuk kecamatan Manding, adik dari Jokotole yaitu Jokowedi segera datang untuk membantunya setelah orang-orang Bali melihat Jokowedi yang mirip sekali dengan kakaknya mereka ketakutan dan lari tunggang langgang ke kapalnya.
Cerita kehidupan jokotole banyak mengandung "Legenda" dan kami telah mengadakan peninjauan kemakam Adipodaj dan Jokotole di Kuburan Nyamplong kedua kuburan yang dianggap keramat oleh rakyat itu tidak menunjukan bentuk kuburan jaman Jokotole kemungkinan besar bentuk kuburan yang lama sudah diganti dengan bentuk kuburan jaman sekarang.
Ratu Bangkalan #1
Dalam literatur perkembangan Islam di Madura, sosok Raden Abdul Kadirun memang tidak banyak disebut. Sultan Bangkalan II ini memang lebih dikenal sebagai tokoh pemerintahan yang ulung.
Mewarisi Pemerintahan Sultan Bangkalan I (Sultan Abdul/Panembahan Adipati Tjakraadiningat I), Raden Abdul Kadirun berjasa memajukan wilayah di ujung Barat Madura ini. Tapi itu tidak serta merta menghapuskan perannya dalam penyebaran Islam. Raden Abdul Kadirun dikenal menjalankan pemerintahannya dengan prinsip-prinsip islami.
Saat memerintah pada 1815-1847 Islam berkembang dan menjadi warna yang dominan di masyarakat Bangkalan. Tak heran, Rato (pemimpin/pemerintah) ini begitu dihormati sosoknya. Tanda bahwa Sultan Abdul Kadirun begitu berjasa terhadap penyebaran Islam juga terlihat dari nisannya yang dibangun sedemikian megahnya, bak istana.
Terletak di sisi barat komplek Masjid Agung Bangkalan, makam Raden Abdul Kadirun ini selalu dipenuhi para peziarah, terutama saat Ramadan seperti sekarang ini. Siang, bahkan hingga larut malam alunan ayat suci Alquran berkumandang tanpa henti. Nyaris tidak ada tempat kosong di setiap sudut ruang komplek makam maupun masjid.
Nuansa bangunan kuno begitu kental dengan ukiran motif bunga dan lambang-lambang perjuangan saat mengusir penjajah. Salah satu nisan makam ada yang berbentuk mahkota kerajaan. Ini merupakan sebagai simbol seseorang yang masih keturunan pemimpin. Juru kunci makam Achmad Yahya mengatakan Raden Abdul Kadirun merupakan tokoh penting dalam sejarah Bangkalan, bahkan merupakan seorang pemimpin atau Bupati pertama yang berjuang melawan penjajah belanda.
Raden Abdul Kadirun merupakan keturan Ratu Ibu, yang terletak di Arosbaya. Yahya menambahkan, Raden Abdul Kadirun yang bergelar Sultan Cakra Adiningrat II ini juga masih mempunyai garis keturunan dengan Brawijaya. "Beliau mempunyai 16 orang anak, saat ini masih ada keturunannya dan sering nyekar ke komplek makam ini," terang pria sepuh ini.
Komplek makam tersebut, bisa dikatakan merupakan komplek makam keluarga. Hampir seluruh kerabat Sultan disemayamkan di sini. Bahkan, istri tercinta Sultan yakni R. Ayu Masturah atau Ratu Ajunan, beserta beberapa orang putranya disemayamkan secara bersebelahan dan berada dalam satu cungkup. Komplek makam bagian dalam yang dibangun sejak 1848 tertera jelas didominasi kultur Jawa.
"Berdasarkan pengakuan para ahli warisnya, Sultan masih keturunan Jawa dan senang wayang kulit," ungkap Yahya. Sementara itu, Muadzin Masjid Agung Bangkalan, Supardi mengatakan, jumlah pengunjung masjid dan komplek makam terus meningkat. Kebanyakan ingin beritikaf atau mengkhatamkan Alquran.
Sehingga, ketika Pangeran Cakraningrat I dan Raden Maluyo, ayahanda Pangeran Tronojoyo, gugur di medan pertempuran membela kedaulatan Mataram saat terjadi pemberontakan oleh Pangeran Alit, ternyata Sunan Amangkurat I memilih mengangkat Raden Undagan yang juga paman Pangeran Tronojoyo sebagai raja di Madura Barat dengan gelar Cakraningrat II.
Padahal, bardasarkan garis keturunan kerajaan Madura Barat, sebenarnya Pangeran Tronojoyo paling berhak meneruskan dinasti kerajaan kakeknya Pangeran Cakraningrat I. Namun, karena ambisi kedua kakek dan pamannya ini serta politik devede et impera yang dilakukan Belanda, akhirnya Pangeran Tronojoyo tersingkir dari kursi singgasana Kerajaan Madura Barat.
Akhirnya, Pangeran Tronojoyo pun melakukan pemberontakan. Ini terjadi sekitar tahun 1648 M. Pangeran Cakraningrat II lalu memindahkan kembali istana Kerajaan Madura Barat dari Madegan, Kelurahan Polagan, Sampang ke Desa Pelakaran, Arosbaya, Bangkalan. Karena pada saat itu, pasukan Pangeran Tronojoyo yang tidak mau bekerja sama dengan penjajah Belanda berhasil membumihanguskan istana kerajaan di Madegan.
Sejak saat itulah, sejarah keberadaan dinasti Kerajaan Madura Barat yang pernah mengalami masa kejayaannya di Madegan, Polagan, Sampang mulai memudar, bahkan menghilang. Ditambah lagi, setelah Pangeran Tronojoyo gugur dalam medan pertempuran melawan kebatilan yang dilakukan kedua kakek dan pamannya serta mengusir penjajah Belanda dari bumi pertiwi.
Menurut ahli sejarah Sampang Drs. Ali Daud Bey, sampai saat ini silsilah keturunan Pangeran Tronojoyo yang dilahirkan di Kampung Pebabaran Rongtengah, Sampang ini, belum ditemukan. Karena dari buku-buku literatur para pakar sejarawan Belanda, tidak ada satu pun yang menulis tentang perjuangan Pangeran Tronojoyo dalam melakukan pemberontakan mengusir penjajah Belanda dari daerah kekuasaan Mataram.
Setelah abad 17 M, status Kabupaten Sampang menjadi sebuah daerah Kadipaten, dengan Adipatinya masing-masing, R. Temenggung Purbonegoro, R. Ario Meloyokoesuma (Reight Besfuurder Gebheid). Dan sejak 15 Januari 1885 dipimpin oleh Adipati R. Temenggung Ario Koesuma Adiningrat (Zelfstending).
Lalu, berturut-turut dipimpin oleh R. Temenggung Ario Candranegoro, R. Adipati Ario Secodiningrat, R. Ario Suryowinoto, dan R. Temenggung Kartoamiprojo. Sedangkan pada tahun 1929 - 1931 M dipimpin oleh R. Ario Sosrowinoto. Sebelum akhirnya pada sekitar tahun 1931-1949 M, Kadipaten Sampang menjadi sebuah daerah Kawedanan di wilayah Kabupaten Pamekasan.
Ratu Bangkalan #2
Warga Kabupaten Bangkalan tentunya boleh berbangga hati, lantaran disana menyimpan beribu macam potensi wisata yang tidak ada duanyadi kota lain di wilayah Pulau Madura. Karena disana terdapat sebuah makam seorang ibu, menurut ceritanya yang melahirkan raja-raja Madura. Bangunan berusia ratusan tahun tersebut, hingga kini masih berdiri kokoh. Obyek wisata ziarah itu merupakan salah satu asset Kabupaten Bangkalan, yeng ternyata tetap terawat baik.
Makam Rato Ebu terletak didalam kompleks Paserean 'Aer Mata', terletak 25 km arah Utara kota Bangkalan, tepatnya di desa Buduran Kecamatan Arosbaya Kabupaten Bangkalan. Makam Rato Ebu adalah makam seorang wanita mulia bernama Syarifah Ambami. Menurut dokumen sejarah, menyebutkan bahwa Syarifah Ambami adalah keturunan Sunan Giri Gresik ke 5. Ia dipersunting oleh Pangeran Tjakraningrat I yang juga anak angkat Sultan Agung Mataram. Dikisahkan bahwa sejak terjadinya Perang Mataram tahun 1624, Madura dikuasai oleh Sultan Agung. Lalu ia menginginkan agar Pangeran Tjakraningrat I memerintah Madura secara keseluruhan. Titah raja pun dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab.
Meskipun Madura menjadi daerah kekuasaannya, namun Pangeran Tjakraningrat justru jarang sekali tinggal di Sampang. Apalagi Raja Mataram, Sultan Agung, masih membutuhkan tenaganya untuk memimpin kerajaannya di tanah Jawa sehingga Pangeran Tjakraningrat I sering tinggal di kerajaan tanah Jawa. Wajar apabila Ratu Syarifah lebih banyak tinggal di Kraton Sampang sendirian tanpa didampingi suami tercintanya. Namun Ratu Syarifah adalah seorang figur wanita yang taat dan patuh pada semua perintah suaminya. Maka untuk mengisi waktu kosongnya, Ratu Syarifah yang lebih populer dengan sebutan Ratu Ibu tersebut lebih banyak menghabiskan waktunya untuk bertapa di seatu bukit di Desa Buduran Kecamatan Arosbaya.
Didalam legenda sejarah Babat Madura dikisahkan, bahwa selama dalam pertapaannya, Ratu Ibu Syarifah senantiasa memohon kepada Allah SWT. agar keturunannya yang laki-laki kelak bisa menjadi pucuk pimpinan pemerinytahan di Madura. Ia berharap agar pimpinan Pemerintahan tersebut dijabat hingga tujuh turunan. Anehnya dalam legenda tadi juga dikisahkan bahwa suatu hari didalam pertapaannya, Ratu Ibu Syarifah berjumpa dengan Nabi Khidlir AS. Dalam pertemuannya yang Cuma sesaat itu, sepertinya semua permohonan Ratu Ibu akan dikabulkan.
Merasa pertapaannya sudah cukup, maka Ratu Ibu Syarifah pun kembali ke Kraton Sampang. Tidak selang beberapa lama, suaminya yakni Paneran Tjakraningrat I datang dari bertugas di Kerajaan Mataram.sebagai istri yang setia, tentu saja Ratu Syarifah menyambut kedatangan suaminya dengan senang hati. Beliau bahkan menceritakan apa yang dialaminya selama bertapa, termasuk adanya petunjuk bahwa permohonannya agar turunannya kelak memimpin Pemerintahan di Madura dikabulkan juga diceritakannya dengan runtun.
Mendengar penuturan Ratu Syarifah tersebut, Pangeran Tjakraningrat I marah, ia sangat kecewa dengan pernyataan istrinya. Sebaliknya Pangeran Tjakraningrat I bertanya dengan marah, "Mengapa kamu cuma memohon untuk tujuh turunan, sebaiknya kan tututan kita selamanya harus memerintah di Madura!", tegur Pangeran Tjakraningrat I kepada Ratu Syarifah. Wanita itupun cuma menundukkan kepala.
Sepeninggal suaminya yang bertugas ke Mataram, Ratu Syarifah kembali ke Desa Buduran untuk bertapa. Dalam pertapaannya itulah Ratu Ibu memohon agar keinginan seaminya untuk menjadikan seluruh keturunannya bisa menjadi pemimpin Pemerintahan di Madura.siang malam Ratu Ibu memohon kepada Allah SWT. agar harapan suaminya bisa dikabulkan, ia memohon sambil terus menangis. Ini dilakukannya hingga meninggal di pertapaan, dalam keadaan menangis.
Ditempat pertapannya itulah Ratu Ibu dimakamkan. Itulah sebabnya, maka makam tersebut dikenal dengan sebutan Makam Ratu Ibu atau Aer Mata. Dikompleks Pasarean Aer Mata tadi juga dimakamkan raj-raja Madura, ternyata bangunan kuno dengan corak arsitekur bernilai tinggi itu menarik perhatian para wisatawan asing dan domestik. Tidak kalah menariknya dibandingkan kemegahan arsitektur Candi Borobudur atau lain di Jawa.
Konon menurut cerita legenda sejarah menyebut, bahwa konstruksi bangunan itu berdiri pada abad ke 15 atau ke 16 yang tersusun rapi, tanpa alat perekat dari semen. Mulai dari nisan, kerangka kuburannya, semuanya terukir indah yang terbuat dari batu putih mirip pualam yang diambil dari lokasi sekitar makam. Salah satu juru kunci makam, mengatakan bahwa peziarah yang datang dari tahun ke tahun ada peningkatan. Anehnya, meskipun banyak peziarah yang hilir mudik datang, namun kompleks pasarean itu tetap tampak bersih dan terkesan terawat baik.
Keindahan yang menonjol dan bernilai seni tinggi tersebut terletak pada tiga 'cungkup' utama makam yang berukuran 40 x 20, yakni makam Ratu Ibu Syarifah Ambami, Panembahan Tjakraningrat II dan Tjakraningrat III. Begitu juga 'cungkup' pada makam Panembahan Tjakraningrat V, VI dan VII yang disebut-sebut bergelar Tjakradiningrat I. Maka wajar apabila kelangkaan dan keindahan nilai seni dan arsitektur pada Pasarean Aer Mata menjadi perhatian Pemerintah, selanjutnya pada tahun 1975 kompleks Pasarean Aer Mata diikut sertakan dalam lomba dan pameran seni arsitektur peninggalan Purbakala se Asia mewakili Indonesia. Hasilnya mendapat nilai tertinggi.
Sejak itulah Pasarean Aer Mata di Kabupaten Bangkalan tidak saja dikenal wisatawan domestik, namun wisatawan asing berdatangan, selain wisatawan, juga para disiplin ilmu pengetahuan seperti arkeologi, antropologi dan sejarah, mereka datang dari dalam dan luar negeri, menjadikan kompleks Pasarean Aer mata sebagai riset ilmiahnya. Yang menarik untuk dijadikan bahan penelitian, lantaran gaya arsitektur dan seni ukir di Aer Mata mempunyai ciri khas perpaduan Hindu, Budha dan Islam.
Pasarean Aer Mata tadi pada tahun 1970 lalu terancam hancur. Diantara tiga Cungkup utama sebagai penyangga rapuh, beberapa "Kemuncak" (hiasan pagar) banyak berjatuhan disekitar kompleks, karena tidak terawat. Maka pada tahun 1978, Kasi Depdikbud Bangkalan yang saat itu dijabat oleh Ny. Hari Siyanto melaporkan tentang kondisi tempat bersejarah di Bangkalan kepada pemerintah Pusat. Rupanya laporan tadi mendapat perhatian besar sehingga dilakukan pemugaran pada tahun 1979 lalu dan 1987 diresmikan oleh Mendikbud Prof. Dr. Fuad Hasan.
Ada lima cungkup yang dipugar, antara lain :
CUNGKUP I
Terdapat 20 makam termasuk makam Ratu Ibu Syarifah Ambami.
CUNGKUP II
Terdapat 46 makam, diantaranya makam Pangeran Tjakraningrat II dan IV.
CUNGKUP III
Terdapat 24 makam diantaranya terdapat makam Panembahan Tjakra Adingrat I, PPA Tjakraningrat (Wali Negoro), dan RA. Moh. Roslan Tjakraningrat yang meninggal pada tanggal 23 Desember 1976.
CUNGKUP IV
Terdapat 11 makamdiantaranya kuburan Tumenggung Mloyo.
CUNGKUP V
Terdapat 10 makam dan dua antaranya terdapat makam Kolonel Suryo Adiningrat dan Mas Ayu Aminah.
Sultan Agung Bangkalan
sena, putera Pangeran Tengah dari Arosbaya disertai Pangeran Sentomerto, saudara dari ibunya yang berasal dari Sampang, dibawa oleh Panembahan Juru Kitting beserta 1000 orang Sampang lainnya ke Mataram. Di Mataram Prasena diterima dengan senang hati oleh Sultan Agung, yang sekanjutnya diangkat sebagai anak.
Bahkan, kemnudian Prasena dinobatkan sebagai penguasa Madura yang bergelar Cakraningrat I. Dia dianugerahi hadiah uang sebesar 20 ribu gulden dan berhak memakai payung kebesaran berwarna emas. Sebaliknya, Cakraningrat I diwajibkan hadir di Mataram setahun sekali. Karena selain menjadi penguasa Madura, dia juga punya tugas-tugas penting di Mataram. Sementara pemerintahan di Sampang dipercayakan kepada Pangeran Santomerto.
Cakraningrat I kemudian menikah dengan adik Sultan Agung, namun hingga istrinya, meninggal dia tidak mendapat keturunan. Kemudian Cakraningrat I menikah dengan Ratu Ibu, yang masih keturunan Sunan Giri. Dari perkawinannya kali ini dia menmpunyai tiga orang anak, yaitu RA Atmojonegoro, R Undagan dan Ratu Mertoparti. Sementara dari para selirnya dia mendapatkan sembilan orang anak, salah satu di antaranya adalah Demang Melaya.
Sepeninggal Sultan Agung tahun 1645 yang kemudian diganti oleh Amangkurat I, Cakraningrat harus menghadapai pemberontakan Pangeran Alit, adik raja. Tusukan keris Setan Kober milik Pangeran Alit menyebabkan Cakraningrat I tewas seketika. Demikian pula dengan puteranya RA Atmojonegoro, begitu melihat ayahnya tewas dia segera menyerang Pangeran Alit, tapi dia bernasib sama seperti ayahnya.
Cakraningrat I diganti oleh Undagan. Seperti halnya Cakraningrat I, Undagan yang bergelar Cakraningrat II ini juga lebih banyak menghabiskan waktunya di Mataram. Di masa pemerintahannya, terjadi pemberontakan putra Demang Melaya yang bernama Trunojoyo terhadap Mataram.
Pemberontakan Trunojoyo diawali dengan penculikan Cakraningrat II dan kemudian mengasingkannya ke Lodaya Kediri. Pemberontakan Trunojoyuo ini mendapat dukungan dari rakyat Madura. Karena Cakraningrat II dinilai rakyat Madura telah mengabaikan pemerintahan Madura.
Kekuatan yang dimiliki kubu Trunojoyo cukup besar dan kuat, karena dia berhasil bekerja sama dengan Pangeran Kejoran dan Kraeng Galesong dari Mataram. Bahkan, Trunojoyo mengawinkan putrinya dengan putra Kraeng Galesong, unutk mempererat hubungan.
Tahun 1674 Trunojoyo berhasil merebut kekuasaan di Madura, dia memproklamirkan diri sebagai Raja Merdeka Madura barat, dan merasa dirinya sejajar dengan penguasa Mataram. Berbagai kemenangan terus diraihnya, misalnya, kemenangannya atas pasukan Makassar (mei 1676 ) dan Oktober 1676 Trunojoyo menang atas pasukan Mataram yang dipimpin Adipati Anom.
Selanjutnya Trunojoyo memakai gelar baru yaitu Panembahan Maduretna. Tekanan-tekanan terhadap Trunojoyo dan pasukannya semakin berat sejak Mataram menandatangani perjanjian kerjasama dengan VOC, tanggal 20 maret 1677. Namun tanpa diduga Trunojoyo berhasil menyerbu ibukota Mataram, Plered. Sehingga Amangkurat harus menyingkir ke ke barat, dan meninggal sebelum dia sampai di Batavia.
Benteng Trunojoyo sedikit demi sedikit dapat dikuasai oleh VOC. Akhirnya Trunojoyo menyerah di lereng Gunung Kelud pada tanggal 27 Desember 1679. Dengan padamnya pemberonrtakan Trunojoyo. VOC kembali mengangkat Cakraningrat II sebagai penguasa di Madura, karena VOC merasa Cakraningrat telah berjasa membantu pangeran Puger saat melawan Amangkurat III, sehingga Pangeran Puger berhasil naik tahta bergelar Paku Buwono I. Kekuasaan Cakraningrat di Madura hanya terbatas pada Bangkalan, Blega dan Sampang.
Pemerintahan Madura yang mulanya ada di Sampang, oleh Cakraningrat II dipindahkan ke Tonjung Bangkalan. Dan terkenal dengan nama Panembahan Sidhing Kamal, yaitu ketika dia meninggal di Kamal tahun 1707, saat dia pulang dari Mataram ke Madura dalam usia 80 tahun. Raden Tumenggung Sosrodiningrat menggantikan kedudukan ayahnya sebagai Bupati Madura barat dengan gelar Cakraningrat III.
Suatau saat terjadi perselisihan antara Cakraningrat dengan menantunya, Bupati Pamekasan yang bernama Arya Adikara. Untuk menghadapi pasukan dari Pamekasan, Cakraningrat III meminta bantuan dari pasukan Bali. Dimasa Cakraningrat inilah Madura betul-betul bergolak, terjadi banyak peperangan dan pemberontakan di Madura.
Tumenggung Surahadiningrat yang diutus Cakraningrat untuk menghadapi pasukan Pamekasan ternyata menyerang pasukan Cakraningrat sendiri dengan bantuan pasukan Sumenep. Sekalipun Cakraningrat meninggal, pergolakan di Madura masih terus terjadi.
Cakraningrat III digantikan oleh Timenggung Surahadiningrat dengan gelar Cakraningrat IV. Awal pemerintahan Cakraningrat IV diwarnai banyak kekacauan. Pasukan Bali dibawah kepemimpinan Dewa Ketut yang sebelumnya diminta datang oleh Cakaraningrat III, datang dengan membawa 1000 prajurit.
Tahu yang meminta bantuan sudah meninggal dan situasi telah berubah, pasukan Bali menyerang Tonjung. Cakraningrat yang sedang berada di Surabaya memerintahkan adiknya Arya Cakranegara untuk mengusir pasukan Bali. Tetapi Dewa Ketut berhasil membujuk Cakranegara untuk berbalik menyerang Cakraningrat IV. Tetapi dengan bantuan VOC, Cakranoingrat IV berhasil mengusir pasukan Arya Cakranegara dan Bali.
Kemudian dia memindahkan pusat pemerintahannya ke Sambilangan. Suatau peristiwa yang terkenal dengan Geger Pacina (pemberontakan masyarakat Cina) juga menjalar ke Mataram. Cakraningrat IV bekerjasama dengan VOC memerangi koalisi Mataram dan Cina ini. Namun hubungan erat antar Madura denga VOC tidak langgeng. Cakraningrat menyatakan perang dengan VOC karena VOC telah berkali-kali melanggar janji yang disepakati.
Dengan bekerja sama dengan pasukan Mengui Bali, Cakraningrat berhasil mengalahkan VOC dan menduduki Sedayu, Lamongan, Jipang dan Tuban. Cakranoingrat juga berhasil mengajak Bupati Surabaya, Pamekasan dan Sumenep untuk bersekutu melawan VOC. Tapi Cakraningrat tampaknya harus menerima kekalahan, setelah VOC mengerahkan pasukan dalam jumlah besar. Cakraningrat dan dua orang putrinya berhasil melarikan diri ke Banjarmasin, namun oleh Raja Bajarmasin dia ditangkap dan diserahkan pada VOC.
Cakraningrat diasingkan ke Kaap De Goede Hoop (Tanjung Penghargaan). dan meninggal di tempat pembuangannya, sehingga dia juga dikenal dengan nama Panembahan Sidengkap
Islam di Madura
Seperti yang di kemukakan di atas bahwa Sunan Giri jang menyebarkan Agama Islam di Pulau Madura, akan tetapi sebelum itu sudah banyak pedagang-pedagang Islam misalnya dari Gujarat yang singgah dipelabuhan-pelabuhan pantai madura, terutama dipelabuhan kalianget. Antar aksi yang berpuluh-puluh tahun antara penduduk asli dengan para pedagang sebagai pendatang tentu membawa pengaruh terhadap kebudayaan dan kepercayaan mereka, diceritakan disuatu daerah didekat desa Persanga di Sumenep datang seorang penyiar Agama Islam.
Ia memberi pelajaran Agama Islam di Pulau Sumenep, diceritakan pula bahwa seorang santri telah dianggap dapat melakukan rukun agam Islam maka ia lalu dimandikan dengan air dengan dicampuri macam-macam bunga yang baunya sangat harum, dimandikan secara demikian disebut dengan "e dusdus", karena itu tempat dimana dilakukan upacara dinamakan desa "Padusan". Kampung Padusan ini termasuk desa Pamolokan kota Sumenep, guru yang memberi pelajaran agama itu disebut "Sunan Padusan" menurut riwayat hidupnya ia keturunan dari Arab ayahnya bernama Usman Hadji, anak dari Raja Pandita saudara dari Sunan Ampel. Pada waktu itu rakyat sangat suka mempelajari Agama Islam sehingga mempengaruhi kepada Rajanya ialah pangeran jokotole yang lalu masuk Islam.
Sunan Padusan itu lalu dipungut menjadi anak menantu Jokotole tempat tinggal Sunan padusan itu mula-mula di desa Padusan lalu pindah kekeraton Batuputih. Penyebaran agama Islam ini terus meluas tidak hanya di pantai-pantai Pulau Madura, tetapi juga sampai kepelosok-pelosok desa, karena itu penduduk Madura hingga sekarang boleh dikatakan 99% beragama Islam. Demikian pula kebudayaan Arab masuk ke Madura bersama meluasnya Agama Islam. Karena itu kesenian Hadrah, gambus, zamrah terdapat sampai kepelosok-pelosok desa dan kampung sehingga boleh dikatakan sudah menjadi kebudayaan Madura.
Sumber : http://kabarmadura07.blogspot.co.id/2013/01/sejarah-madura.html
Asal Usul Kabupaten Sampang
Posted by : Unknown / on :
Jauh
sebelum berdirinya kerajaan-kerajaan ke daratan Madura, sekitar abad ke
7 M atau tepatnya pada tahun 835 M, di wilayah Kabupaten Sampang sudah
ditemukan adanya komunitas masyarakat. Komunitas ini masih belum
berstruktur dan masih berupa padepokan agama Budha dengan seorang “resi”
sebagai titik sentralnya.
Menurut Drs Ali Daud Bey, salah seorang ahli sejarah di Sampang, hal
ini dapat diketahui lewat temuan “Candra Sangkala” di situs sumur
Daksan, Kelurahan Dalpenang, Sampang oleh para pakar sejarah dan
arkeologi dari Mojokerto dan UGM Yogyakarta, yang dibantu oleh para pini
sepuh dan ahli sejarah dari Sampang sendiri.
Tetapi sayangnya, menurut Daud, keberadaan Candra Sangkala yang menjadi
pride (kebanggaan) masyarakat Sampang tersebut, tidak didukung oleh
adanya temuan prasasti yang menggambarkan aktivitas masyarakat saat itu,
sehingga tidak banyak memberikan informasi yang cukup berarti mengenai
kondisi dan situasi yang terjadi pada waktu itu.
Namun, berdasarkan tulisan-tulisan para ahli sejarah dan kepurbakalaan
Belanda, yang sampai saat ini masih dijadikan referensi oleh para pakar
sejarah dan arkeologi Indonesia, terungkap beberapa aktivitas masyarakat
pada masa kurun waktu yang terdapat pada Candra Sangkala tersebut.
Candra Sangkala yang ditemukan di situs sumur Daksan Kelurahan
Dalpenang tersebut berbunyi: Kudok Alih Ngrangsang Ing Buto, artinya
Kudok = 7 Alih = 5 Ngrangsang = 7 Ing = tahun dan Buto = tahun Caka.
Berarti, 757 tahun Caka atau sama dengan 835 M.
Menurut para pakar sejarah, komunitas masyarakat seperti ini terjadi pada masa pemerintahan Dinasti Cailendra abad ke 7 M. Waktu itu komunitas masyarakatnya tidak berstruktur, berkelompok menjadi satu padu, dan biasanya dipimpin oleh seorang “resi” yang dijadikan sebagai titik sentral dalam mengajarkan agama Budha kepada anggota kelompoknya. Candra Sangkala yang lain, ternyata juga ditemukan di situs bujuk Nandi, Desa Kemuning, Kecamatan Kedundung, Sampang. Situs itu berbunyi: Nagara Gata Bhuwana Agong, artinya Nagara = 1 Gata = 3 Bhuwana = 0 Agong = 1. Berarti, 1301 tahun Caka atau sama dengan 1379 M.
Menurut para pakar sejarah, komunitas masyarakat seperti ini terjadi pada masa pemerintahan Dinasti Cailendra abad ke 7 M. Waktu itu komunitas masyarakatnya tidak berstruktur, berkelompok menjadi satu padu, dan biasanya dipimpin oleh seorang “resi” yang dijadikan sebagai titik sentral dalam mengajarkan agama Budha kepada anggota kelompoknya. Candra Sangkala yang lain, ternyata juga ditemukan di situs bujuk Nandi, Desa Kemuning, Kecamatan Kedundung, Sampang. Situs itu berbunyi: Nagara Gata Bhuwana Agong, artinya Nagara = 1 Gata = 3 Bhuwana = 0 Agong = 1. Berarti, 1301 tahun Caka atau sama dengan 1379 M.
“Candra Sangkala yang ditemukan di situs bujuk Nandi ini menunjukkan
paduan kelompok masyarakat yang menganut agama Syiwa. Mereka biasanya
membangun pusat peribadatannya berbentuk candi, dengan lambang ‘nandi’
atau lembu sebagai kendaraan raja Syiwa yang diagungkan. Sedangkan
resinya, bernama Durga Mahesasura Mardhini,” jelas Ali Daud Bey.
Komunitas masyarakat seperti ini, menurut para pakar sejarah, terjadi
pada masa pemerintahan Daha dan Kediri abad 12 M. Pada waktu itu,
komunitas masyarakatnya sudah berstruktur namun tidak jelas, karena
tidak ditemukan referensi pendukung secara tertulis seperti prasasti.
Tetapi, yang berhasil ditemukan hanya Sangkala “Memet” yang menunjukkan
adanya padepokan agama Syiwa dan Budha, sekitar tahun 1379 M sampai 1383
M.
Kejayaan Mojopahit Sampai Masa Kekuasaan Mataram
Pada saat Kerajaan Mojopahit sedang mengalami masa kejayaannya,
pengaruh keberadaan kerajaan yang terletak di Kabupaten Mojokerto itu
terekam di Sampang. Ini bisa dilihat dari ditemukannya Candra Sangkala
di situs Pangeran Bangsacara Takobuh, Kelurahan Polagan Sampang. Candra
Sangkala tersebut, berupa angka 1305 tahun Caka yang tertoreh di sebuah
batu berukir, yang berarti sama dengan tahun 1383 M. Angka tersebut
menandakan tahun berdirinya sebuah candi Budha dengan relief rangkaian
cerita Pangeran Bangsacara Ragapadmi. Isinya sarat dengan pesan-pesan
pendidikan moral dan agama.
Menurut para pakar sejarah, komunitas masyarakat seperti ini sudah
mulai berstruktur walaupun statusnya mudah sekali berubah-ubah. Biasanya
diawali dengan Kamituwo, lalu menjadi Kademangan, setelah itu berubah
menjadi Padukuhan, dan akhirnya berubah menjadi sebuah Kerajaan.
Sedangkan referensinya masih berupa pitutur lisan, tetapi sudah ada
yang sebagian sempat menulis pada generasi kelima setelah komunitas
tersebut atau sekitar 300 tahun setelahnya.
Berdasarkan bukti-bukti sejarah, raja Madura pertama yang sempat
memerintah saat itu adalah Ario Lembu Peteng sekitar abad 14 M. Dia
adalah putra dari Prabu Brawijaya V (Stamboom Van Het Geslachi Tjakra
Adi Ningrat, hal 79). Lalu, berturut-turut kerajaan Madura diperintah
oleh Ario Menger, Ario Patikal, Nyai Ageng Boedo dan yang terakhir
adalah Kiai Demong sekitar tahun 1531 M.
Saat pemerintahan dipegang oleh Kiai Demong, sekitar tahun 1531-1623 M,
istana kerajaan Madura yang awalnya berada di Madegan Polagan Sampang,
dipindah ke Pelakaran Arosbaya Bangkalan. Tetapi, sekitar tahun 1623 M
ketika Madura berhasil ditaklukkan oleh kerajaan Mataram, istana
kerajaan dipindahkan kembali ke Madegan Polagan Sampang.
Menurut bukti-bukti sejarah, kiai Demong merupakan salah satu raja-raja
keturunan Majapahit yang sudah memeluk agama Islam. Ia adalah kakek
dari Panembahan Lemah Duwur (1531-1592), yang kemudian dikenal sebagai
pendiri masjid Madegan Polagan Sampang, yang sampai saat ini masih
dikramatkan oleh sebagian besar masyarakat, sehingga sering dijadikan
tempat melakukan sumpah pocong oleh hampir semua kalangan.
Panembahan Lemah Duwur dikenal sebagai seorang raja yang berjasa
meletakkan dasar-dasar kepemimpinan Islam di Madura, khususnya di
Kabupaten Sampang. Ia adalah ayah dari Pangeran Tengah (1592-1621) yang
beristerikan Ratu Ibu I, yang sampai saat ini makamnya berada di makam
raja-raja Madegan Polagan Sampang.
Sedangkan Pangeran Tengah adalah ayah dari Raden Praseno yang dikenal
sebagai Pangeran Cakraningrat I (1624-1648), yang juga menantu
kesayangan dari Sultan Agung. Sebab, selain beristrikan Ratu Ibu II,
salah satu puteri Sultan Agung, ia merupakan salah seorang panglima
perang Mataram yang sangat handal, sehingga ia dimakamkan di makam
raja-raja Imogiri Yogyakarta.
Sementara itu, Candra Sangkala lain juga ditemukan di situs Pangeran
Santomerto. Candra Sangkala itu menunjukkan tahun Caka wafatnya Pangeran
Santomerto yang juga dikenal sebagai paman Raden Praseno, yang
mengasuhnya sejak kecil setelah Pangeran Tengah (ayahanda R. Praseno)
gugur dalam pertempuran. Candra Sangkala ini berupa kayu berukir angka
dengan memakai hurup Arab yang menunjukkan tahun Caka 1496 atau sama
dengan tahun 1574 M.
Raden Praseno Jadi Pijakan Hari Jadi Kota Sampang
Candra Sangkala kelima adalah Candra Sangkala yang terukir di daun
pintu sebelah kiri pada Gapura Agung makam Ratu Ibu I yang ada di
Madegan Kelurahan Polagan, Sampang. Candra Sangkala ini berupa relief
berbentuk ulang naga yang terpanah tembus dari kepala sampai ekor. Pakar
sejarah membaca Naga Kapanah Titis Ing Midi sebagai angka 1546 Caka
atau sama dengan 1624 M.
Ratu Ibu I adalah istri Pangeran Tengah. Dia juga ibu kandung Raden
Praseno. Sedangkan angka tahun 1624 M menandakan tahun diangkatnya Raden
Praseno oleh Sultan Agung menjadi Raja Mataram pertama yang berkuasa di
wilayah Madura Barat dengan gelar Cakraningrat I yang memerintah dari
tahun 1624 M sampai 1648 M. Berdasarkan bukti-bukti sejarah,
pengangkatan Raden Praseno menjadi raja Madura Barat dinobatkan langsung
oleh Sultan Agung pada tanggal 12 Robiul Awal 1045 H atau bertepatan
dengan tanggal 23 Desember 1624 M. Prosesi penobatannya, dilakukan
bertepatan dengan acara “Grebek Maulid” sebagai acara sakral keagamaan
setiap tahun yang selalu diadakan di lingkungan Keraton Surakarta.
Biasanya dalam acara ini, dilakukan kirab pusaka kerajaan dan
pejabat-pejabat keraton yang akan dipromosikan menjadi penguasa di suatu
daerah.
Menurut salah seorang ahli sejarah di Sampang Drs. Ali Daud Bey, di
dalam beberapa literatur karya para sejarawan Belanda, di antaranya P.
Cakraningrat Vorstenhuis van Madura maupun Madura en Zyn Vorstenhuis,
memang banyak disebutkan peristiwa-peristiwa kesejarahan kerajaan Madura
Barat yang ada di kota Sampang.
“Berdasarkan literatur itu, akhirnya kita bisa mengetahui bahwa
momentum pengangkatan Raden Praseno menjadi raja Mataram di wilayah
Madura Barat, merupakan tonggak sejarah berdirinya sebuah pemerintahan
pertama yang sah secara yuridis dan de fakto menurut hukum
ketatanegaraan. Sehingga, sampai saat ini tanggal 23 Desember tersebut
ditetapkan sebagai hari jadi kota Sampang,” jelas Daud.
Selain menjadi raja di Madura Barat, ternyata Cakraningrat I juga
diangkat oleh Sultan Agung menjadi panglima perang Kerajaan Mataram,
serta diambil menantu dikawinkan dengan seorang putrinya yang bernama
Ratu Ibu II. Dalam menjalankan tugas-tugasnya menjadi seorang panglima
perang, Cakraningrat I dibantu oleh salah seorang putranya dari selir,
yaitu Raden Maluyo yang dikenal sebagai ayah dari Pangeran Tronojoyo.
Ketika Cakraningrat I yang dibantu R. Maluyo sedang melaksanakan tugas dari Sultan Agung guna memerangi pemberontakan bersenjata yang dilakukan oleh Pangeran Alit, kedua panglima perang Mataram ini akhirnya gugur di medan pertempuran dan dimakamkan di makam raja-raja Mataram di Imogiri Surakarta.
Ketika Cakraningrat I yang dibantu R. Maluyo sedang melaksanakan tugas dari Sultan Agung guna memerangi pemberontakan bersenjata yang dilakukan oleh Pangeran Alit, kedua panglima perang Mataram ini akhirnya gugur di medan pertempuran dan dimakamkan di makam raja-raja Mataram di Imogiri Surakarta.
Sebagai cucu dari Cakraningrat I atau putra dari Raden Maluyo, menurut
urutan garis keturunan kerajaan Madura Barat, sebenarnya Pangeran
Tronojoyo paling berhak meneruskan dinasti kerajaan Pangeran
Cakraningrat I (kakeknya). Namun, karena ambisi dari Raden Undagan
(Cakraningrat II) yang dibantu penuh oleh pihak Belanda saat itu,
akhirnya tatanan dinasti Cakraningrat hancur dan Pangeran Tronojoyo
tersingkir dari singgasana kerajaan.
Tronojoyo Memberontak, Kerajaan Dipindah ke Bangkalan
Naiknya Raden Undagan menjadi Raja Madura Barat dengan gelar Pangeran
Cakraningrat II (1648-1707 M), ternyata tidak lepas dari campur tangan
dan politik devide et impera penjajah Belanda. Intervensi Belanda dalam
masalah intern pemerintahan Kerajaan Mataram terjadi setelah kekuasaan
Sultan Agung Hanyokrokusumo. Setelah Sultan Agung mangkat sekitar abad
16 M, tampuk kekuasaan Kerajaan Mataram ternyata tidak diserahkan kepada
menantu kesayangan Sultan yaitu Pangeran Cakraningrat I, tetapi justru
diserahkan kepada Sunan Amangkurat I, adik ipar Sultan Agung sendiri.
Sedangkan berdasarkan bukti-bukti sejarah, Sunan Amangkurat I ini
dikenal sebagai Raja Mataram yang mau bersekutu dengan penjajah Belanda.
Sehingga, ketika Pangeran Cakraningrat I dan Raden Maluyo, ayahanda
Pangeran Tronojoyo, gugur di medan pertempuran membela kedaulatan
Mataram saat terjadi pemberontakan oleh Pangeran Alit, ternyata Sunan
Amangkurat I memilih mengangkat Raden Undagan yang juga paman Pangeran
Tronojoyo sebagai raja di Madura Barat dengan gelar Cakraningrat II.
Padahal, bardasarkan garis keturunan kerajaan Madura Barat, sebenarnya
Pangeran Tronojoyo paling berhak meneruskan dinasti kerajaan kakeknya
Pangeran Cakraningrat I. Namun, karena ambisi kedua kakek dan pamannya
ini serta politik devede et impera yang dilakukan Belanda, akhirnya
Pangeran Tronojoyo tersingkir dari kursi singgasana Kerajaan Madura
Barat.
Akhirnya, Pangeran Tronojoyo pun melakukan pemberontakan. Ini terjadi
sekitar tahun 1648 M. Pangeran Cakraningrat II lalu memindahkan kembali
istana Kerajaan Madura Barat dari Madegan, Kelurahan Polagan, Sampang ke
Desa Pelakaran, Arosbaya, Bangkalan. Karena pada saat itu, pasukan
Pangeran Tronojoyo yang tidak mau bekerja sama dengan penjajah Belanda
berhasil membumihanguskan istana kerajaan di Madegan.
Sejak saat itulah, sejarah keberadaan dinasti Kerajaan Madura Barat yang pernah mengalami masa kejayaannya di Madegan, Polagan, Sampang mulai memudar, bahkan menghilang. Ditambah lagi, setelah Pangeran Tronojoyo gugur dalam medan pertempuran melawan kebatilan yang dilakukan kedua kakek dan pamannya serta mengusir penjajah Belanda dari bumi pertiwi.
Sejak saat itulah, sejarah keberadaan dinasti Kerajaan Madura Barat yang pernah mengalami masa kejayaannya di Madegan, Polagan, Sampang mulai memudar, bahkan menghilang. Ditambah lagi, setelah Pangeran Tronojoyo gugur dalam medan pertempuran melawan kebatilan yang dilakukan kedua kakek dan pamannya serta mengusir penjajah Belanda dari bumi pertiwi.
Menurut ahli sejarah Sampang Drs Ali Daud Bey, sampai saat ini silsilah
keturunan Pangeran Tronojoyo yang dilahirkan di Kampung Pebabaran
Rongtengah, Sampang ini, belum ditemukan. Karena dari buku-buku
literatur para pakar sejarawan Belanda, tidak ada satu pun yang menulis
tentang perjuangan Pangeran Tronojoyo dalam melakukan pemberontakan
mengusir penjajah Belanda dari daerah kekuasaan Mataram.
Setelah abad 17 M, status Kabupaten Sampang menjadi sebuah daerah
Kadipaten, dengan Adipatinya masing-masing, R. Temenggung Purbonegoro,
R. Ario Meloyokoesuma (Reight Besfuurder Gebheid). Dan sejak 15 Januari
1885 dipimpin oleh Adipati R. Temenggung Ario Koesuma Adiningrat
(Zelfstending).
Lalu, berturut-turut dipimpin oleh R. Temenggung Ario Candranegoro, R.
Adipati Ario Secodiningrat, R. Ario Suryowinoto, dan R. Temenggung
Kartoamiprojo. Sedangkan pada tahun 1929- 1931 M dipimpin oleh R. Ario
Sosrowinoto. Sebelum akhirnya pada sekitar tahun 1931-1949 M, Kadipaten
Sampang menjadi sebuah daerah Kawedanan di wilayah Kabupaten Pamekasan.
Sumber : http://www.sampangkab.go.id/sites/page/dokumen/39