Islam di Madura: Legenda dan Fakta
Agama Primitif Madura
Terletak di seberang timur laut pulau Jawa, pulau Madura dikatakan mulanya hanya terdiri dari gundukan-gundukan tanah yang kadang tampak hijau dari kejauhan tatkala air laut surut namun ‘hilang’ dari pandangan bila air laut pasang. Sebab itulah orang Jawa menyebutnya “Lemah Dhuro” yakni tanah yang tidak sesungguhnya; kadang terlihat dan kadang raib. Bahkan sampai sekarang pun masih ada orang Jawa yang memanggil orang Madura itu “Wong Dhuro”.
Sejarah lisan (legenda) masyarakat Madura mengatakan bahwa nenek moyang penduduk Madura berasal dari pulau Jawa, yaitu Raden Segoro, putra seorang raja dari negara Medangkamulan di dekat gunung Semeru dan Bromo.[2] Meski sukar untuk dipastikan historisitasnya, keberadaan tokoh Raden Segoro dan Kyai Poleng begitu kuat dipercaya oleh masyarakat turun-temurun.[3] Maka tak mengherankan kalau sejarah Madura terkait erat dengan sejarah Jawa. Kerajaan-kerajaan Madura sejatinya merupakan kelanjutan dari kerajaan-kerajaan besar di Jawa, mulai dari Kediri, Singasari, Majapahit dan Mataram. Oleh karena itu, pada zaman pra-Islam, penduduk Madura umumnya beragama Hindu-Buddha, sebagaimana masyarakat Jawa pada umumnya.[4]
Ahli-ahli sejarah mengakui sulitnya merekonstruksi zaman Hindu-Buddha di Madura ini karena kelangkaan sumber sejarah. Hanya ada beberapa candi baik di Pamekasan dan Sumenep sebagai bukti bahwa agama Hindu-Budha pernah dianut masyarakat Madura.[5] De Graaf, misalnya, mengatakan bahwa merekonstruksi sejarah Jawa, termasuk Madura, ibarat menimba di sumur yang keruh airnya.[6] Diperkirakan pengaruh Hindu-Budha yaitu sejak tahun abad ke 9, sejak berkembangnya cerita Raden Segoro, sampai sekitar abad ke 15, yakni setelah mulai berkembangnya masyarakat mengenal Islam lalu memeluknya.[7] Pengaruh kuat Hindu-Budha juga diperkuat dengan adanya catatan bahwa di abad-abad itu secara berturut-turut Madura di bawah pengaruh Kediri (1050-1222), Singosari (1222-1292) dan Majapahit (1294-1572), yang kesemuanya beragama Hindu dan Budha.[8] Sebab itu, istilah “Madura” tidak jarang disebut-sebut dalam tulisan-tulisan orang Hindu sebagaimana dalam Pararaton yang menyebut istilah “Madura Wetan”, Madura bagian timur, yakni Sumenep.[9]
Sampai di sini agama primitif orang Madura bisa dipastikan tidak jauh berbeda dengan masyarakat Jawa pra Islam, yaitu Hindu-Budha.[10] Adapun agama selain itu adalah agama baru yang datang kemudian, termasuk Islam dan Kristen. Selanjutnya akan dijabarkan proses Islamisasi Madura.
Islamisasi Madura
Proses Islamisasi Madura boleh dibilang suatu proyek dakwah yang menuai hasil yang luar biasa. Proyek dakwah ini sebenarnya adalah kelanjutan dari mega proyek Islamisasi Nusantara yang sangat massif di antara abad ke-7 hingga abad ke-15 melalui tangan-tangan ikhlas para juru dakwah yang di Jawa dikenal dengan Wali Songo. Madura juga menjadi bagian agenda mega proyek ini.[11]
Namun demikian, sepertinya perlu kerja keras untuk membangun sejarah Islamisasi Madura ini agar tersusun secara utuh. Hal ini karena fakta telah berbaur dengan legenda. Stories, myths and legends are to be foundin abundance, kata Lik Arifin Mansurnoor, dalam penelitiannya tentang peran ulama dalam Islamisasi Madura.[12] Oleh karenanya, bukan suatu yang mudah menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti: sejak kapan Islamisasi Madura? Siapa yang pertama kali menyebarkan Islam di Madura? Melalui apa penyebarannya? Bagaimana cara konversi masyarakat dari agama primitif mereka kepada agama Islam? Setidaknya, ada dua jalur Islamisasi Madura yang bisa dielaborasi, yaitu jalur kerajaan dan jalur para da’i atau yang lebih dikenal para Sunan.
Jalur Kerajaan
Jalur kerajaan adalah teori yang menggambarkan bahwa Islamisasi Madura itu melalui para pemimpin dan bangsawan kerajaan. Karena raja-rajanya Islam, maka keturunannya ikut Islam dan diikuti oleh penduduk di bawahnya yang juga memeluk Islam.
Ada beberapa pendapat tentang hal ini. Di bagian timur Madura, yaitu Sumenep menyebutkan Islam sudah masuk ke Sumenep sejak Panembahan Joharsari, penguasa Sumenep dari tahun 1319 hingga 1331 Masehi. Panembahan Joharsari mempunyai putra bernama Raden Piturut yang bergelar Panembahan Mandaraka yang juga diyakini beragama Islam. Bukti keislamannya adalah makamnya sudah berbentuk Islam yang terletak di desa Mandaraga, Keles, Ambunten. Panembahan Mandaraka yang berkuasa sampai 1339 M mempunyai dua putra yaitu Pangeran Natapraja bertahta di Bukabu dari thn 1339-1348 M dan Pangeran Nataningrat yang menggantikan kakaknya dengan karaton Baragung, Guluk-Guluk. Pangeran Nataningrat berputra Agung Rawit yang bergelar Pangeran Sekadiningrat I yang memerintah thn 1358-1366 M dengan keraton di Banasare. Kemudian ia diganti oleh putranya yaitu Temenggung Gajah Pramada yang bergelar Sekadiningrat II yang memerintah thn 1366-1386 M. setelah itu ia diganti oleh cucunya yang bernama Jokotole atau Aria Kudapanole yang bergelar Sekadiningrat III.[13]
Namun sepertinya masih terlalu lemah pembuktian keislaman penguasa-penguasa Sumenep di atas karena minimnya bukti empiris yang mendukung. Ditambah lagi, ada yang mengatakan, Jokotole atau Aria Kudapanole yang berkuasa sejak tahun 1415-1460 M baru masuk Islam kemudian melalui Juru Dakwah yang dikenal dengan Sunan Paddusan. Nama Asli sunan ini adalah R. Bindara Dwiryapada anak dari Haji Usman Sunan Manyuram Mandalika, penyebar agama Islam di Lombok. Sunan Paddusan kemudian diambil menantu oleh Jokotole.[14]
Sementara itu, teori kerajaan lainnya adalah di Madura bagian Barat. Menurut beberapa sumber, Prabu Brawijaya ke V, yakni Prabu Kertabumi, yaitu Raja Majapahit yang memerintah antara tahun 1468–1478 M telah memeluk Islam. Dari permaisurinya yang bernama Ratu Dworowati dikarunia putra bernama Raden Ario Lembu Petteng. Ario Lembu Petteng kemudian menjadi Kamituo di Madegan Sampang.[15] Sementara legenda lain menyebut putra Prabu Kertabumi lainnya bernama Ario Damar (menjadi adipati di Palembang) mempunyai putra yaitu Raden Ario Menak Senoyo. Ario Menak Senoyo ini kemudian meninggalkan Palembang dan menetap di Madura, tepatnya di Parupuh (sekarang Proppo). Kisah Madura bagian Barat ini bermula dari kisah mereka berdua. Mereka masih setia dengan agama primitifnya, yaitu Hindu. Sebagai bukti, di sana terdapat puing-puing candi yang gagal dibangun. Orang menyebutnya Candi Burung (“burung” dalam bahasa Madura bermakna gagal).[16]
Ario Lembu Petteng sudah mulai tertarik dengan agama baru yang waktu demi waktu tambah ramai dianut orang, utamanya di lingkungan bangsawan Majapahit. Lalu kemudian ia memeluk Islam pada tahun 1478 M. setelah menjadi santri dari Sunan Ampel.[17] Sebelumnya ia hanya mengutus bawahannya untuk belajar Islam ke Sunan Ampel. Namun ternyata anak buahnya itu sudah keduluan masuk Islam. Tidak mau ketinggalan, ia kemudian berangkat sendiri ke Ampel Delta dan nyantri kepada Sunan Ampel. Akhirnya ia memeluk Islam dan tidak sempat pulang lagi ke Sampang karena keburu meninggal dan dimakamkan di Ampel.[18] Namun, menurut cerita lain, di masanya ia menetap di Sampang inilah Sunan Giri mengutus Syekh Syarif, yang juga dikenal dengan Khalifa Husein, untuk membantunya untuk merangkul para pengikut baru di pulau tersebut.[19]
Lembu Petteng meninggalkan dua putra dan satu putri. Mereka adalah Raden Ario Manger, Raden Ario Mengo dan Retno Dewi. Lalu kemudian Raden Ario Manger menggantikan bapaknya sebagai Kamituo di Madegan Sampang. Ia mempunyai tiga orang putra, yaitu Kyai Ario Langgar, Kyai Ario Panengah, Kyai Ario Pratikel. Namun, tidak semua keturunan Lembu Petteng memeluk Islam. Tercatat Ario Mengo tetap menganut Budha dan oleh karenanya masyarakatnya masih kuat menganut agama ini. Ario Mengo lah yang membuka hutan di sebelah timur dari kerajaan bapaknya, yaitu di daerah Pamelingan (sekarang Pamekasan). Dialah yang memerintah pertama kali di sana dengan gelar Kyai Wonorono di mana tempat keratonnya berada di daerah Lawangan Daya sekarang.[20]
Dua keturunan Prabu Kertabumi Barawijaya V ini kemudian menjadi satu kembali pada perkawinan antara Raden Ario Pojok dari garis keturunan Raden Ario Damar dengan Nyai Budho dari garis keturunan Raden Ario Lembu Petteng. Dari perkawinannya ini dikarunia lima anak yang salah satunya adalah bernama Kyai Demang yang kemudian memimpin Plakaran Arosbaya, Bangkalan. Kyai Demang kawin dengan Nyi Sumekar mendirikan Kraton di kota Anyar. Dari perkawinannya itu kemudian mereka dikarunia lima orang putra, yaitu: (1) Kyai Adipati Pramono di Madegan Sampang; (2) Kyai Pratolo disebut juga Pangeran Parambusan; (3) Kyai Pratali atau disebut juga Pangeran Pesapen; (4) Pangeran Paningkan disebut juga dengan nama Pangeran Suka Sudo; dan (5) Kyai Pragalba yang kemudian dikenal dengan nama Pangeran Plakaran karena bertahta di Plakaran.[21]
Menurut catatan sejarah, penguasa Plakaran ini masih enggan memeluk Islam, walaupun Islam sudah menjadi buah bibir sebagian besar masyarakatnya, termasuk putranya sendiri Raden Pratanu. Namun demikian, ia tidak melarang putranya belajar ilmu Islam kepada Sunan Kudus. Oleh karena itu, agama Islam masih menemukan rintangan berkembang di Madura bagian Barat ini karena keengganan Raden Pragalbo untuk memeluk Islam. Di penghujung usianya, Raden Pratanu membujuk bapaknya agar mengucapkan dua kalimat syahadat. Saat itulah Raden Pragalbo wafat setelah beberapa saat sebelumnya menganggukkan kepala tanda setuju dengan bimbingan anaknya. Mengangguk dalam bahasa Madura disebut onggu’. Sejak itulah, menurut legenda ini, Raden Pragalbo kemudian lebih dikenal dengan Pengeran Islam Onggu’.[22]
Panembahan Pratanu yang bergelar Lemah Dhuwur ini adalah pendiri kerajaan kecil yang berpusat di Arosbaya, sekitar 20 km dari kota Bangkalan ke arah utara. Diperkirakan, Panembahan Pratanu dinobatkan sebagai raja pada tahun 1531 setelah ayahnya, Raja Pragalbo, meninggal dunia. Sebagaimana disebutkan di atas, walaupun sang Bapak masih enggan masuk Islam, namun ketika Pratanu masih dalam masa mudanya ia pernah bermimpi didatangi orang yang memintanya agar memeluk agama Islam. Mimpinya disampaikannya kepada sang ayah, lalu sang ayah mengirim Patih Empu Bageno untuk mempelajari Islam di Kudus. Tidak tanggung-tanggung, sang Patih belajar Islam sungguh-sungguh sampai akhirnya memeluk agama ini dan kembali ke Arosbaya. Dari dialah Pratanu mengenal Islam dan iapun masuk Islam. Diperkirakan, setelah keislaman sang pangeran, ia bersama Empu Bageno kemudian menyebarkan agama baru itu ke seluruh warga Arosbaya. Dilihat dari masanya, di mana ia diperkirakan lahir tahun 1531 dan meninggal tahun 1592, Panembahan Pratanu termasuk raja pertama di Madura Barat ini yang masuk Islam dan menyebarkannya.[23]
Di Pamekasan, Raja yang tercatat sebagai penganut Islam pertama adalah Panembahan Ronggosukowati. Menurut catatan sejarah pamekasan, di masa muda Ronggosukowati pernah belajar kepada Sunan Giri atau Raden Paku. Oleh karena itu, bisa dipastikan Ronggosukowati muda ini sudah Muslim. Dialah yang kemudian menggantikan Bapaknya, yaitu Panembahan Bonorogo, karena usia yang sudah lanjut. Namun, kepulangan Ronggosukowati ke Pamekasan tidaklah sendirian. Konon Sunan Giri menyertakan muballigh bersamanya untuk menyiarkan Islam di Pamekasan yang bernama Sayyid Muhammad bin Abdurrahman bil Faqih. Bersama muballigh itulah Ronggosukowati mengislamkan Pamekasan.[24]
Sejauh penulis telusuri, pada periode awal, memang Madura berada di bawah kerajaan-kerajaan Hindu-Budha di Jawa. Itu diperkirakan antara abad ke 10-15. Di antara masa-masa ini aroma dakwah Islam sudah masuk ke Jawa yang mengakibatkan beberapa orang masuk Islam, utamanya daerah-daerah pesisir pantai utara jawa. Akibatnya, Madura juga menjadi bagian terpenting dari proses Islamisasi ini melalui islamnya kalangan bangsawan di kala itu. Sehingga, sekitar abad ke 16 dan seterusnya, semua kerajaan dan begitu juga masyarakatnya sudah Islam, utamanya setelah penguasaan Mataram atas kerajaan-kerajaan Madura antara abad ke 16-17.[25]
Sumber :https://www.facebook.com/permalink.php?id=383880611710024&story_fbid=385835591514526
Tidak ada komentar: